Sejumlah saham milik konglomerat turun signifikan bersama dengan bank utama pada Jumat (14/3/2025).
Saham Konglo dan Bank Kakap Jadi Beban saat IHSG Turun Lebih dari 1 Persen. (Foto: Freepik)
IDXChannel – Sejumlah saham milik konglomerat turun signifikan bersama dengan bank utama pada Jumat (14/3/2025), menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga turun lebih dari satu persen.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 15.05 WIB, IHSG melemah 1,82 persen ke level 6.524,39, menuju penurunan mingguan sebesar 1,68 persen.
Sebanyak 443 saham turun dan hanya 191 saham naik, sedangkan 300 lebih sisanya stagnan.
Nilai transaksi tergolong sepi, hanya Rp6,35 triliun dan volume perdagangan 10,84 miliar saham.
Saham-saham konglomerat dengan kapitalisasi pasar besar (big cap) menjadi pemberat (laggard). Sebut saja, emiten data center Toto Sugiri dan Anthoni Salim, DCII, jatuh 20 persen atau menyentuh auto rejection bawah (ARB).
Kemudian, saham properti milik taipan Aguan dan Grup Salim, PANI, tergerus 3,69 persen, emiten tambang Grup Salim AMMN merosot 3,49 persen. Emiten produsen mi instan Grup Salim, ICBP, juga terdepresiasi 2,05 persen.
Saham-saham milik Grup Barito besutan Prajogo Pangestu—yang kerap menjadi penggerak indeks—juga tergelincir, seperti TPIA yang turun 2,50 persen, BREN minus 0,82 persen, CUAN memerah 3,08 persen, hingga BRPT yang turun 1,88 persen.
Demikian pula, saham batu bara milik Low Tuck Kwong yang terkoreksi 0,37 persen.
Sekain saham-saham konglomerat, empat saham bank utama kompak melemah. Saham BBNI turun 2,43 persen, BBCA terdepresiasi 1,95 persen, BBRI 0,79 persen, dan BMRI 0,42 persen.
Pemerintah Indonesia mempertahankan proyeksi defisit anggaran di 2025 di level 2,53 persen terhadap PDB, meski penerimaan pajak hingga Februari 2025 tercatat turun tajam 30 persen.
Di sisi lain, ketegangan perdagangan global yang semakin meningkat memicu volatilitas pasar dan mendorong investor beralih ke aset safe haven seperti dolar AS.
Kondisi ini semakin pelik setelah sejumlah mitra dagang utama AS mengancam akan membalas kebijakan tarif baru yang diterapkan Washington.
"Tarif balasan, khususnya yang bersifat resiprokal, diperkirakan cukup merugikan," kata Kepala Ekonom Westpac, Illiana Jain.
Menurutnya, jika negara-negara mitra dagang AS terpaksa menerapkan tarif serupa demi melindungi industri dalam negeri, harga beberapa komoditas utama bisa naik.
"Hal ini tak hanya menghambat pertumbuhan, tetapi juga berisiko menggerus sentimen di Asia," ujarnya. (Aldo Fernando)