Saham emiten produsen nikel lagi-lagi melesat pada perdagangan Rabu (7/5/2025) di tengah penguatan komoditas logam belakangan ini.
Saham Emiten Nikel INCO-TINS Cs Kembali Melejit, Intip Katalisnya. (Foto: Freepik)
IDXChannel – Saham emiten produsen nikel lagi-lagi melesat pada perdagangan Rabu (7/5/2025) di tengah penguatan komoditas logam belakangan ini.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 11.38 WIB, saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) melambung 7,92 persen, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) melejit 9,06 persen, PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) mendaki 5,90 persen.
Demikian pula, saham PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) terkerek 3,73 persen, PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (NICE) tumbuh 2,67 persen, PT Harum Energy Tbk (HRUM) 2,41 persen.
Selain itu, saham PT Timah Tbk (TINS) naik 2,09 persen, PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) 1,11 persen, dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) 0,73 persen.
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menjelaskan, saham-saham komoditas saat ini cenderung bergerak sejalan dengan reli harga emas sebelumnya, termasuk saham seperti ANTM, BRMS, dan PSAB.
"Perlemahan indeks dolar (DXY) juga menjadi sentimen positif terhadap harga komoditas secara umum, termasuk nikel," ujar Michael kepada IDXChannel, Selasa (6/5/2025).
Michael menambahkan, sejumlah saham nikel saat ini telah terkoreksi cukup dalam, sehingga peluang pembalikan arah (reversal) menjadi cukup besar.
"Beberapa saham nikel yang terlihat menarik dengan akumulasi yang baik adalah MBMA, HRUM, dan INCO," katanya.
Mengutip Trading Economics, Selasa (6/5/2025), harga nikel di pasar berjangka (futures) stabil di kisaran USD15.500 per ton.
Nikel mempertahankan penguatan dari titik terendah dalam empat tahun di USD14.150 per ton yang tercapai pada 8 April, seiring kebijakan pembatasan produksi dari Indonesia meredam kekhawatiran pasar yang kelebihan pasokan.
Pemerintah Indonesia memangkas kuota penambangan nikel sebesar 120 juta ton menjadi 150 juta ton pada 2025, sehingga pasokan global turun sekitar 35 persen dari level saat ini.
Langkah ini diambil setelah lonjakan proyek pemurnian nikel asal China di Indonesia, menyusul larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan sejak 2020.
Hingga September lalu, Indonesia menjadi tuan rumah bagi 44 fasilitas pemurnian nikel, naik signifikan dari hanya empat fasilitas satu dekade lalu.
Meski begitu, minimnya respons beli menunjukkan bahwa pasar nikel kemungkinan tetap kelebihan pasokan, mengingat stok nikel di gudang LME masih lebih dari dua kali lipat dibandingkan setahun sebelumnya, yakni di atas 200 ribu ton.
Sementara itu, ketegangan dagang antara AS dan China, serta keraguan terhadap arah kebijakan dagang Gedung Putih, terus menekan aktivitas manufaktur secara global. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.