kebijakan tersebut akan berdampak terhadap banyaknya produk rokok ilegal yang berujung pada penurunan jumlah penjualan rokok legal.
Rancangan Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dituding Picu Banyak Persoalan Baru (foto: MNC Media)
IDXChannel - Gelombang penolakan kembali muncul atas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Kali ini, respons negatif tersebut disampaikan oleh Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI).
Penolakan muncul didasarkan pada keyakinan bahwa hadirnya kebijakan baru tersebut justru akan menimbulkan banyak permasalahan baru di sektor bisnis tembakau dan produk turunannya.
Menurut Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, dalam rancangan aturan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tersebut terdapat kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Sudarto menilai kebijakan tersebut akan berdampak terhadap banyaknya produk rokok ilegal yang berujung pada penurunan jumlah penjualan rokok legal.
"Jika peredaran rokok ilegal terus berkembang di tengah masyarakat, ujungnya akan berdampak terhadap efisiensi di industri rokok yang legal atau secara resmi membayar cukai ke negara," ujar Sudarto, dalam keterangan resminya, Jumat (18/10/2024).
Parahnya lagi, menurut Sudarto, aturan ini juga diyakini bakal semakin menggerus penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.
"Kemasan rokok polos tanpa merek akan tambah memicu rokok ilegal. Rokok ilegal tumbuh, penjualan rokok legal turun, dan dapat dipastikan akan terjadi efesiensi pekerja," ujar Sudarto.
Dalam masa peralihan kepemimpinan pemerintahan saat ini, Sudarto meminta kepada pemimpin baru Indonesia yakni Prabowo-Gibran untuk dapat memperhatikan pihak-pihak yang terdampak pada kebijakan yang akan diterbitkan.
Sudarto menilai, seharusnya kebijakan yang dikeluarkan bukan hanya mengedepankan satu pihak saja, melainkan harus mementingkan kepentingan bersama dan disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia.
penyebabnya, dikatakan Sudarto, Indonesia berbeda dengan negara lain karena memiliki industri hasil tembakau yang mempekerjakan buruh, petani, hingga menjadi sumber mata pencaharian jutaan peritel. Kondisi ini jelas berbeda.
"Bukan sekadar masalah berpihak, yang kami butuhkan keadilan. Demi kedaulatan, kekuatan, kemajuan bangsa Presiden dan Wakil Presiden sudah seharusnya memperhatikan kepentingan bangsanya," tegasnya.
Terlebih selama ini, Sudarto mengatakan pihaknya sama sekali tidak dilibatkan dalam rancangan peraturan tersebut. Bagi Sudarto, tidak adanya meaningful participation atau keterlibatan bermakna dalam perumusan kebijakan merupakan tindakan yang tidak adil kepada para pekerja di industri hasil tembakau.
"Surat kepada Presiden Jokowi sudah kami kirimkan, audiensi sudah, tetapi cenderung dipersulit dan tidak didengar, kami undang dalam forum resmi dialog Kemenkes tidak datang, mereka mengadakan publik hearing kami tidak diundang," ujar Sudarto.
Dikatakan Sudarto, yang terpenting adalah bukan sekadar dilibatkan melainkan juga agar masukan dari para buruh dan tenaga kerja terdampak dapat diakomodir oleh Kemenkes.
(taufan sukma)