Sopir truk melakukan aksi di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Target pemerintah untuk menghapus truk Over Dimension and Over Loading (ODOL) pada 2026 dinilai belum realistis jika tidak dibarengi penanganan dari sisi hulu. Para pengusaha logistik yang tergabung dalam Perkumpulan Keamanan dan Keselamatan Indonesia (Kamselindo) mendorong agar pengawasan dilakukan sejak titik muat barang, bukan hanya di jalan raya.
“Kalau saya rasa perlu penanganan di hulu, di tempat-tempat muat sebelum truk itu jalan di jalanan,” ujar Ketua Umum Kamselindo, Kyatmaja Lookman, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (18/7/2025).
Kyatmaja menilai, selama ini pelanggaran ODOL kerap bermula dari instruksi pemilik barang, namun para pemilik tersebut belum tersentuh regulasi karena keterbatasan kewenangan aparat di lapangan. Saat ini, menurutnya, Kementerian Perhubungan dan kepolisian belum memiliki yurisdiksi untuk menindak pemilik barang secara langsung.
“Saat ini belum tersentuh pemilik barang yang menentukan truk-truk untuk muat secara overloading karena Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan polisi tidak memiliki wewenang di sana,” jelasnya.
Untuk mendorong kepatuhan, Kyatmaja menyarankan agar badan usaha milik negara (BUMN) menjadi pelopor dalam menerapkan kebijakan muatan sesuai ketentuan. Langkah ini dapat menjadi contoh bagi pelaku industri lainnya.
Selain itu, ia menyoroti praktik pungutan liar (pungli) yang kerap menjadi sisi gelap dari pengawasan di lapangan. Kyatmaja menyebut perlunya membedakan jenis pungli yang terjadi selama ini.
“Pungli ini seringkali merupakan uang damai karena melanggar atau perlindungan untuk melanggar aturan. Hal ini harus dibedakan dengan pungli yang memberikan uang secara terpaksa,” tegasnya.