Nama Pahlawan di Uang Rp200, Mengenal Sosok Dokter yang Sering Dibuang Belanda

1 month ago 23

Selain diabadikan dalam uang kartal, nama Cipto Mangunkusumo juga diabadikan sebagai nama rumah sakit umum rujukan pusat nasional.

 Kemdikbud)

Nama Pahlawan di Uang Rp200, Mengenal Sosok Dokter yang Sering Dibuang Belanda. (Foto: Kemdikbud)

IDXChannel—Siapakah nama pahlawan di uang Rp200 perak? Nama pahlawan yang diabadikan dalam uang koin pecahan Rp200 adalah dr. Cipto Mangunkusumo. Dia adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. 

Selain diabadikan dalam uang kartal, nama Cipto Mangunkusumo juga diabadikan sebagai nama rumah sakit umum rujukan pusat nasional, yakni RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang terletak di Jakarta Pusat. 

Cipto Mangunkusumo terlahir pada 4 Maret 1886 di Keresidenan Jepara pada masa kolonial Belanda. Dia adalah putra tertua Mangunkusumo, yang saat itu merupakan seorang priyayi berkasta rendah dalam masyarakat Jawa. 

Ayahnya mengawali karier sebagai guru di sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah dan pembantu administrasi di dewan kota Semarang. Sementara ibunya adalah seorang keturunan tuan tanah di Jepara. 

Meskipun ayahnya bukanlah priyayi berjabatan tinggi di pemerintahan, namun sang ayah berhasil menyekolahkan semua anak-anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Cipto Mangunkusumo sendiri bersekolah di STOVIA. 

Nama Pahlawan di Uang Rp200 Perak, Tokoh yang Kritis dan Anti-Kolonial

Cipto adalah seorang pribadi yang kritis dan progresif pada masanya, dan karena kritiknya yang tajam kepada pemerintahan kolonial Belanda, dia pernah diasingkan di beberapa daerah untuk membatasi gerak-geriknya dalam bersuara. 

Sikapnya yang kritis itu terlihat sejak dia masih bersekolah di STOVIA, di mana Cipto diketahui tidak suka pada aturan yang berlaku di sekolahnya itu. Salah satunya adalah peraturan yang mengharuskan mahasiswa Jawa dan Sumatera non-kristen untuk memakai pakaian tradisional di lingkungan sekolah. 

Bagi Cipto, aturan ini menunjukkan politik kolonial yang melestarikan budaya feodalisme. Saat itu juga, hanya pribumi berpangkat bupati yang boleh mengenakan pakaian barat. Sementara pribumi berjabatan wedana ke bawah dan tidak bekerja di pemerintahan tidak boleh memakai pakaian barat. 

Cipto juga tidak suka dengan diskriminasi dan kesenjangan yang terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat saat itu, di mana terjadi pembatasan antara penduduk Eropa dengan pribumi dalam segala hal. 

Mulai dari kesempatan untuk sekolah, jabatan di pemerintah, perbedaan pajak dan gaji, hingga perdagangan. Ketidaksukaannya ini dituliskannya sebagai kritik di harian De Locomotief, dan karena tulisan-tulisannya itu dia sering ditegur oleh pemerintah. 

Cipto juga aktif bergabung dengan organisasi. Dia pernah tergabung dalam Budi Utomo. Namun di tempat itu pun dia berselisih pendapat dengan Radjiman Wedyodiningrat terkait perkembangan arah organisasi. 

Cipto ingin Budi Utomo menjadi organisasi politik yang demokratis dan terbuka untuk semua rakyat, sementara Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa. 

Cipto keluar dari Budi Utomo pada akhirnya, karena merasa organisasi tersebut tidak selaras dengan pandangannya. Dia lantas membuka praktik di Solo, bahkan terlibat dalam pemberantasan wabah pes di Malang. 

Namun di sela-sela kesibukannya, Cipto tetap aktif berpolitik. Kali ini dia mendirikan Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Soewardi Soeryaningrat. Bersama kedua rekannya ini, Cipto dibuang ke Belanda karena dianggap berbahaya. 

Sebabnya tak lain karena kritik yang dilontarkan organisasi melalui Komite Bumi Putera saat perayaan kemerdekaan ke-100 Belanda secara besar-besaran, termasuk di Hindia Belanda. 

Komite yang dipimpin oleh Cipto itu mengumpulkan uang untuk mengirim telegram ke Ratu Wilhelmina, juga membuat selebaran-selebaran untuk menyadarkan rakyat bahwa perayaan kemerdekaan dengan menggelontorkan uang dan tenaga rakyat tersebut adalah penghinaan bagi pribumi. 

Puncaknya, Soewardi menuliskan artikel ‘Andai aku seorang Belanda’ di sebuah surat kabar. Tulisan tersebut telak memukul pemerintah kolonial, dan sebagai akibatnya, Soewardi dan Cipto dipenjarakan. 

Tak lama kemudian, pemerintah kolonial membuang tiga serangkai tersebut ke Belanda karena propaganda anti-Belanda. Namun saat dibuang di negeri kincir angin pun, ketiganya tetap aktif berpolitik dengan menerbitkan majalah yang menceritakan situasi Hindia Belanda. Tujuannya, agar orang Belanda dan orang Indonesia di Belanda tahu kebenaran. 

Pembuangan ke Belanda bukanlah yang pertama dan terakhir bagi Cipto. Sepanjang kariernya berpolitik dan berorganisasi, Cipto juga pernah diasingkan ke daerah-daerah Indonesia yang tidak berbahasa Jawa. 

Dewan Hindia pada masanya menyarankan gubernur jenderal untuk mengasingkan Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Namun di tempat pembuangannya di Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kaltim, Cipto masih membahayakan pemerintah Hindia Belanda. 

Dia berkali-kali diasingkan di daerah yang berbeda, dan akhirnya meninggal dunia dalam masa pengasingannya. Saat Cipto mulai sakit—ketika itu pengasingannya di Banda—dia ditawari surat perjanjian, di mana dia dibolehkan pulang ke Jawa asalkan tidak lagi berpolitik. 

Namun Cipto menolak tawaran tersebut, dan berkata lebih baik mati di Banda daripada melepas hak politiknya. Pada akhirnya dia dialihkan ke Bali, Makassar, dan dipindahkan ke Sukabumi. Dia meninggal pada 8 Maret 1943, pada masa kependudukan Jepang. 

Cipto dimakamkan di TMP Ambarawa. Karena jasa-jasa dan perjuangannya untuk Indonesia, Cipto Mangunkusumo dikenang sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan. Namanya diabadikan. 

Itulah kisah tentang nama pahlawan di uang Rp200 perak, dr. Cipto Mangunkusumo. 


(Nadya Kurnia)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |