Jakarta -
Siapa yang tidak tergoda dengan diskon besar-besaran, barang edisi terbatas, atau tren fashion terbaru? Tanpa disadari, perilaku seperti ini bisa menjerumuskan kita dalam budaya konsumerisme.
Kita dibuat tergoda membeli sesuatu bukan lagi karena butuh, melainkan karena ingin terlihat 'update' dan mengikuti gaya hidup tertentu. Kebiasaan ini nyatanya bisa menimbulkan efek negatif yang berdampak jangka panjang.
Fenomena konsumerisme merupakan salah satu dampak nyata dari sistem ekonomi kapitalis dan globalisasi. Di balik gemerlapnya dunia konsumsi, budaya konsumerisme menyimpan dampak negatif yang bisa mempengaruhi kondisi finansial, sosial, bahkan psikologis seseorang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenal Contoh Konsumerisme dan Perilakunya
Secara garis besar, konsumerisme merupakan sebuah sistem sosial dan ekonomi yang mendorong individu atau kelompok untuk membeli barang dan jasa dalam jumlah besar, bahkan melebihi kebutuhan sebenarnya. Perilaku ini biasanya berkaitan dengan gaya hidup konsumtif, yaitu kecenderungan membeli barang atau jasa hanya demi memenuhi keinginan pribadi, bukan berdasarkan kebutuhan atau fungsi.
Kebiasaan konsumtif yang berlebihan bisa memunculkan dampak negatif bagi individu maupun masyarakat, baik dari sisi finansial maupun sosial. Menurut Mutiah Nurafandi M dalam penelitiannya yang dipublikasikan di repository Universitas Negeri Makassar, konsumerisme diartikan sebagai kecenderungan atau pola perilaku seseorang mengkonsumsi barang dan jasa secara berlebihan, tidak terkontrol, dan berkelanjutan.
Dirangkum dari buku Bank Soal Ujian Nasional SMA dan buku Ekonomi Pembangunan karya Jaka Palawe, konsumerisme adalah sikap dari orang-orang yang cenderung memakai benda tertentu demi mendapatkan gengsi atau prestise. Konsumerisme masuk dalam perilaku akibat erosi budaya lokal, karena budaya global yang kuat dapat menggeser nilai dan budaya lokal yang lebih tradisional, terutama pada generasi muda.
Beberapa contoh konsumerisme yakni sebagai berikut, dirangkum dari e-journal Universitas Trunojoyo Madura oleh Abdur Rohman dan buku Subjek-Subjek Algoritmik oleh Mohammad Afifuddin:
- Konsumerisme dalam dunia pendidikan misalnya, siswa malas menghitung karena sudah ada kalkulator.
- Mahasiswa yang seharusnya cukup mengalokasikan dana makan sebesar Rp 15.000 per porsi, justru menghabiskan dua kali lipatnya karena memilih ngopi dan nongkrong.
- Kebiasaan membeli barang-barang mewah tanpa mempertimbangkan manfaatnya, hanya demi kepuasan pribadi atau sekadar untuk dipamerkan kepada orang lain.
- Masyarakat cenderung menggunakan aplikasi layanan transportasi umum online dengan pola konsumsi yang cukup tinggi.
- Penggunaan aplikasi e-commerce secara berlebihan sebagai bentuk penyesuaian diri, saat seseorang merasa perlu mengikuti tren agar tidak berbeda atau terkesan tertinggal dari lingkungannya.
- Keinginan belanja setelah melihat video yang relevan dengan gaya hidup impian, melalui media sosial.
- Selain itu, konsumerisme digital juga tampak dalam fenomena perjudian online di dalam video game. Sistem monetisasi didesain untuk mendorong perilaku konsumtif para pemainnya.
Penyebab, Ciri, dan Dampak Negatif Konsumerisme
Budaya konsumerisme kini sudah melekat dalam gaya hidup modern. Gaya hidup itu sendiri mencerminkan bagaimana seseorang mengatur waktu, keuangan, energi, serta menunjukkan minat dan selera mereka dalam memilih barang atau layanan.
Bila kebiasaan konsumtif telah menjadi bagian dari keseharian seseorang, bisa dipastikan bahwa mereka telah terjebak dalam lingkaran konsumerisme. Pada dasarnya, konsumerisme mendorong individu untuk terus membeli produk, meskipun terkadang tidak ada kebutuhan nyata di baliknya.
Masih dilansir dari buku karya Mohammad Afifuddin, pola konsumtif yang berujung pada budaya konsumerisme dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam diri maupun lingkungan sekitar.
Faktor internal meliputi keinginan pribadi serta gaya hidup yang cenderung mewah, sementara faktor eksternal berasal dari pengaruh lingkungan sosial, keluarga, hingga teman sebaya. Lebih lengkapnya seperti berikut:
Faktor Internal
Merujuk pada pemahaman, kebiasaan, dan keyakinan seseorang tentang gaya hidup konsumtif. Biasanya, seseorang mengadopsi konsumerisme karena menganggap kepemilikan barang-barang tertentu bisa mendongkrak harga diri dan status sosial.
Faktor Eksternal
Lingkungan sosial juga memegang peranan besar dalam membentuk budaya konsumtif, seperti tekanan pergaulan, tren media sosial, hingga strategi pemasaran yang mendorong konsumen merasa 'harus' membeli produk tertentu. Selain itu, dorongan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain sering menjadi alasan seseorang mengadopsi gaya hidup konsumtif.
Pola konsumtif ini juga dipicu oleh berbagai daya tarik dari apa yang kita lihat sehari-hari, yakni internet. Kemudahan dalam pemesanan, jaminan keamanan, kenyamanan layanan, harga terjangkau, banyaknya promo menarik, serta pelayanan yang cepat jadi dambaan.
Sayangnya, kebiasaan ini sering kali tidak didasari oleh kebutuhan yang jelas, melainkan lebih kepada keinginan untuk memenuhi gaya hidup praktis. Perilaku konsumerisme muncul dengan ciri-ciri merasa perlu memiliki suatu barang, yang pembeliannya lebih berorientasi pada kepuasan emosional dan status sosial ketimbang fungsi barang.
Perilaku ikut-ikutan tren, seperti meniru gaya hidup selebriti atau figur publik serta ingin tampil menonjol di hadapan orang lain, merupakan ciri konsumerisme. Tapi, sejauh apa sebetulnya dampaknya?
Meski konsumerisme meningkatkan produksi barang dagangan terutama produk lokal dan mendorong motivasi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan, tapi budaya konsumerisme menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan di tengah masyarakat.
Nilai uang sering kali tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya. Perilaku ini juga lambat laun akan membuat keresahan dan kecemasan, karena hasrat konsumsi yang tidak terpuaskan.
Konsumerisme akan membangun ketimpangan sosial antara kelompok masyarakat dan mengurangi kebiasaan menabung. Sehingga, orang lebih fokus pada kepuasan instan tanpa memikirkan masa depan.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa konsumerisme bukan hanya tentang membeli barang, melainkan juga soal dorongan emosional untuk mendapatkan pengakuan, rasa bangga, dan pemenuhan gaya hidup. Maka, penting untuk menyadari batas antara kebutuhan dan keinginan, agar tidak terjebak dalam budaya konsumtif yang berlebihan.
(aau/fds)