Kiai-Santri, Dinamika Kebangsaan, dan Liberalisasi Media

7 hours ago 4

Oleh : Fadhly Azhar, Sosiolog untuk Isu-isu Pesantren dan Keislaman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah derasnya arus liberalisasi pers dan media digital yang semakin tak terbendung, posisi kiai dan santri kini diuji sebagai agen moral dalam ruang kebangsaan. Jika dulu pesantren dikenal sebagai pusat penyemaian adab dan pengetahuan, kini ia juga dituntut menjadi benteng kewarasan di tengah hiruk-pikuk informasi yang seringkali tanpa etika dan arah.

Sejak masa pergerakan nasional, relasi kiai-santri telah menjadi poros kesadaran kebangsaan. KH. Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya (1945) menanamkan benih cinta tanah air sebagai bagian dari iman. KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan modernismenya menjadikan Islam dan ilmu sebagai alat kemajuan bangsa. Dalam sejarahnya, kedua arus besar ini—tradisional dan modernis—mempersatukan semangat yang sama: membangun manusia Indonesia yang beriman, berilmu, dan beradab.

Namun kini, dalam era kebebasan informasi pasca-Reformasi, ruang publik yang dulu menjadi wadah perjuangan moral, telah dipenuhi dengan narasi yang bising dan sering kali bias terhadap agama, pesantren, dan tokoh-tokohnya. Liberalisasi pers yang seharusnya menjamin keberagaman pandangan justru sering menjelma menjadi arena clickbait dan sensasi.

Data Dewan Pers tahun 2024 mencatat lebih dari 54% pemberitaan daring di Indonesia masih belum memenuhi kaidah cover both sides atau berimbang. Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima 1.812 laporan masyarakat terkait pelanggaran etika siaran sepanjang 2023, termasuk pemberitaan yang menyinggung lembaga keagamaan.

Kiai dan santri menjadi korban sekaligus saksi dari fenomena ini. Dalam beberapa kasus, seperti pemberitaan sensasional tentang “kekerasan di pesantren” tanpa verifikasi yang memadai, publik digiring pada persepsi bahwa pesantren identik dengan kekerasan atau keterbelakangan. Padahal, Kementerian Agama sejak 2024–2025 gencar mendorong program Pesantren Ramah Anak melalui regulasi dan peta jalan kemudian adanya Pembentukan Satgas Pesantren ramah Anak di Pusat hingga Provinsi.

Program Pesantren Ramah Anak (PRA) yang digagas Kementerian Agama sejak 2021 menunjukkan perkembangan signifikan dalam membangun ekosistem pendidikan yang aman, sehat, dan partisipatif bagi santri. Berdasarkan laporan Direktorat Pesantren Kemenag RI (2024), lebih dari 500 pesantren di 34 provinsi telah menerapkan prinsip-prinsip PRA seperti pelibatan santri dalam forum musyawarah, mekanisme pelaporan kekerasan berbasis komunitas, serta integrasi kurikulum akhlak dan literasi digital etis.

Salah satu praktik baik terlihat di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, yang sejak 2022 membentuk Unit Perlindungan Santri (UPS) bekerja sama dengan UNICEF dan Komnas Perempuan untuk menyediakan layanan konseling, edukasi gender, dan pelatihan resolusi konflik. Di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, sistem pengawasan berlapis antara pengasuh, asatidz, dan wali santri dikembangkan dalam skema “Pesantren Aman, Hijau dan Sehat”, yang bahkan meraih penghargaan dari Kemenag Jawa Timur (2023) atas Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang pernah meraih Penghargaan Eco Pesantren Jawa Timur 2023 kategori Pratama.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |