Industri besi dan baja dalam negeri tercatat mengalami pertumbuhan signifikan pada 2024. Namun, hal itu tidak bisa dirasakan para pelaku industri dalam negeri.
Industri Besi dan Baja RI Kian Tergerus Diserbu Barang Impor China. (Foto: BIro Pers Setpres)
IDXChannel - Industri besi dan baja dalam negeri tercatat mengalami pertumbuhan signifikan pada 2024. Namun, hal itu tidak bisa dirasakan para pelaku industri dalam negeri.
Tercatat kebutuhan baja nasional tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 sampai 5,3 persen dengan volume dari 17,6 juta ton pada 2023, menjadi 18,5 juta ton pada 2024.
Namun Chairman Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), Akbar Djohan, mengatakan pertumbuhan tersebut tidak serta merta dapat dinikmati oleh pengusaha baja dalam negeri. Sebab, adanya gangguan dari rantai pasok global, terutama dari China.
Akbar menyebut serbuan produk besi dan baja dari China telah menggerus industri dalam negeri. Menariknya lagi, ancaman ini juga bukan hanya dirasakan oleh Indonesia saja tapi juga negara lainnya termasuk Korea Selatan, Jepang, negara-negara di Eropa, dan bahkan Amerika Serikat.
"Serbuan masifnya impor dari China ini sudah tidak bisa dibendung ke seluruh dunia. Ya, kalau kita bisa lihat bahwa ada skema predatory price dari baja impor China. Dan ancaman ini bukan hanya mengancam baja atau industri baja nasional kita, tapi ini juga mengancam seluruh produsen baja negara-negara maju sekalipun," kata Akbar, Kamis (2/1/2025).
Akbar melanjut, jika dibandingkan Indonesia, industri besi dan baja China punya produktivitas yang jauh lebih banyak. Menurut dia, Indonesia hanya mampu menghasilkan 20 juta ton per tahun produk besi dan baja, sedangkan China memiliki kapasitas produksi hingga 1 miliar ton.
"Dengan volume produksi 1 miliar ton baja, China ini tentu mencari market. Sedangkan dalam negeri kita yang tadi saya sampaikan, ini tidak lebih di bawah dari 20 juta ton per tahun kapasitas produksi, tetapi utilisasinya hanya 60 persen. Jadi ini yang jauh lebih krusial yang harus kita bicara dengan pemerintah," ujar Akbar.
Akbar menilai sudah sepatutnya pemerintah mengkaji lebih dalam terkait regulasi dan bagaimana tata niaga impor untuk menjaga industri dalam negeri. Ia pun mencontohkan langkah Amerika Serikat yang sudah menerapkan tambahan bea masuk serta kebijakan anti-dumping hampir mencapai 200 persen sebagai bantalan.
"Ini luar biasa, artinya negara superpower seperti Amerika pun sangat menguatirkan importasi yang sangat masif dari China. Nah, apa yang kita bisa ambil daripada pelajaran ini, bagaimana kita menyikapi importasi serta proteksi produksi baja dalam negeri. Ini yang harus kita sikapi, bukan masalah ketidakmampuan atau kurangnya daya saing," tuturnya.
(Febrina Ratna)