Salah satu keunikan yang kerap diangkat adalah keengganannya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Hal yang Dapat Dipelajari dari Kisah Bob Sadino, Punya Privilege Bukan Berarti Malas-malasan. (Foto: istimewa)
IDXChannel—Banyak hal yang dapat dipelajari dari kisah Bob Sadino. Bambang Mustari Sadino atau Bob Sadino, adalah seorang pengusaha sukses di bidang agribisnis, supermarket, dan properti.
Perjalanan hidup Bob Sadino yang inspiratif sering diangkat. Salah satu keunikan yang kerap diangkat adalah keengganannya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Namun tak jarang orang salah mengartikan keputusan pengusaha nyentrik ini.
Banyak orang kelewat menekankan keputusan Bob Sadino untuk tidak melanjutkan kuliah. Namun di balik keputusan itu, Bob Sadino melakukan banyak hal untuk meraih kesuksesan dengan caranya sendiri.
Melansir Gramedia (3/1), berikut ini adalah perjalanan bisnis dan hal yang dapat dipelajari dari kisah Bob Sadino.
Hal yang Dapat Dipelajari dari Kisah Bob Sadino, Pandai Memanfaatkan Privilege
Bob Sadino adalah anak bungsu dari lima bersaudara, dia terlahir pada 1933 di keluarga dengan kondisi ekonomi yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang guru dan kepala sekolah pada masa kolonial Belanda.
Ayahnya meninggal dunia saat usianya masih 19 tahun dan meninggalkan harta warisan kepada Bob Sadino, karena keempat saudaranya telah mapan. Dari sini dapat diketahui bahwa Bob Sadino memiliki privilege, atau keistimewaan, secara finansial.
Ayahnya tergolong bercukupan sehingga mampu menyekolahkan anak-anaknya dan masih cukup untuk meninggalkan harta warisan untuk anak bungsunya. Meskipun memiliki privilege, Bob Sadino tidak lantas bermalas-malasan.
Dia memang memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, meskipun saat itu ayahnya meninggalkan harta warisan yang cukup untuk membiayai pendidikannya. Namun alih-alih kuliah, Bob Sadino justru memakai sebagian warisannya itu untuk keliling dunia.
Meskipun begitu, sebelum ke luar negeri Bob Sadino pernah bekerja di Unilever selama beberapa tahun. Setelah resign dari Unilever, barulah Bob Sadino pergi ke luar negeri sampai dia memutuskan untuk menetap di Belanda selama sembilan tahun.
Saat tinggal di Belanda, Bob Sadino tetap bekerja dan tidak berleha-leha menghabiskan uang warisannya. Dia bekerja di Djakarta Lloyd, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan logistik.
Bob Sadino pulang ke Indonesia pada 1967, saat itu dia membawa serta dua mobil Mercedez miliknya. Satu dijualnya untuk membeli sebidang tanah di wilayah Kemang, Jakarta Selatan, dan satu lagi disewakannya.
Bob sendiri yang menjadi supirnya saat memulai bisnis persewaan itu. Namun usaha penyewaan mobil itu harus terhenti usai Bob Sadino kecelakaan sehingga mobilnya rusak parah dan dia merugi.
Setelah merugi akibat kecelakaan mobil, Bob Sadino pernah bekerja sebagai kuli bangunan dengan upah harian sebesar Rp100 demi menyambung hidup. Kemudian salah seorang rekannya, pensiunan Jenderal TNI AU bernama Sri Mulyono Herlambang, menyarankannya untuk berbisnis ternak ayam petelur.
Sri Mulyono adalah seorang perintis usaha ayam ras, sekaligus pendiri Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia. Saat itu, telur yang umum dijual ke masyarakat adalah telur ayam kampung.
Sementara ayam yang dikembangbiakkan oleh Bob Sadino adalah ayam broiler, dia mempelajari ilmu pengembangbiakan itu dari majalah peternakan berbahasa Belanda. Bob Sadino-lah yang pertama kali memperkenalkan telur ayam negeri ke konsumen.
Saat pertama kali merintis bisnis telur ayam negeri itu, Bob Sadino menawarkan telurnya dari pintu ke pintu. Karena telur ayam negeri belum populer, telur dagangannya hanya dibeli oleh tetangga-tetangganya di daerah Kemang yang notabene adalah ekspat.
Namun tak lama kemudian, ayam telur negeri mulai populer sehingga bisnis telurnya pun mulai berkembang. Setelah sukses dengan bisnis telur, Bob Sadino merambah ke bisnis sayur mayur.
Dialah yang memperkenalkan praktik bercocok tanam sayuran dengan metode hidroponik di Indonesia pada tahun 1980-an, meskipun teknik hidroponik telah masuk ke Indonesia pada tahun 1970-an.
Bob Sadino menggunakan metode hidroponik pada lahan seluas 2,5 hektare. Bisnis pertaniannya ini pun sukses. Dia menenam sayur mayur yang biasa dimakan oleh orang asing di Indonesia.
Dia juga mengajak petani lokal untuk bekerja sama dengan konsep hidroponik, dari situ berdirilah Kem Farm, perusahaan agribisnis yang berfokus pada sayur mayur dan buah-buahan.
Setelah sukses dengan Kem Farm dan bisnis telur itu, Bob Sadino mendirikan Kem Chicks. Kem Chicks adalah supermarket yang menjual produk pangan impor, target pasarnya tentu kalangan ekspat yang tinggal di Indonesia.
Hal yang Dapat Dipelajari dari Kisah Bob Sadino, Semua Ada Risikonya
Hal yang patut digarisbawahi dari perjalanan bisnis Bob Sadino adalah, privilege tak lantas membuat Bob Sadino bermalas-malasan dan enggan berusaha keras. Dia memang memutuskan untuk tidak kuliah, tapi dia menempuh cara lain dan berusaha sama kerasnya untuk meraih kesuksesan.
Bob Sadino tetap bersedia untuk bekerja sebagai kuli bangunan demi menyambung hidup. Meskipun dia berasal dari keluarga berkecukupan, dia tetap mau bekerja sebagai buruh kasar.
Dia juga langsung bekerja saat lulus SMA, menunjukkan bahwa meskipun tidak kuliah, Bob Sadino tetap berjuang untuk menghasilkan penghidupan. Pada sisi lain, privilege yang diperolehnya dari harta warisan ayahnya, membuatnya lebih leluasa untuk memilih dan menentukan arah hidupnya sendiri.
Namun secara bersamaan, Bob Sadino memanfaatkan privelege tersebut sebaik mungkin untuk mencari pengalaman hidup dan membekali diri di negeri lain. Saat di Belanda pun, buktinya Bob Sadino tetap bekerja di sebuah perusahaan.
Bob Sadino juga tetap belajar dari awal dan membekali diri dengan ilmu peternakan dari buku saat dia merintis bisnis ayam petelur. Bahkan saat mulai menjual telur, Bob Sadino tetap turun langsung menawarkan produk dari pintu ke pintu.
Jadi, kesuksesan Bob Sadino yang diperoleh tanpa kuliah, tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan pentingnya pendidikan. Karena privilege yang didapatnya dari harta warisan ayahnya, memungkinkannya untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Setelah memilih untuk merantau ke negeri lain pun hingga akhirnya berbisnis pun, Bob Sadino tetap mengerahkan tenaga dan berusaha keras agar sukses, sama seperti orang yang berupaya sukses melalui pekerjaan formal.
Keputusan untuk tidak berkuliah, tentu tidak dapat diambil oleh orang lain tanpa privilege yang sama dengan Bob Sadino. Tentunya juga, tidak akan berhasil tanpa tekad kuat dan kejelian melihat peluang seperti yang dilakukan oleh Bob Sadino.
Pelaku usaha lain yang juga meraih kesuksesan bisnis tanpa kuliah, menempuh perjalanan bisnis yang panjang yang melibatkan tekad kuat, kesediaan untuk belajar langsung di lapangan, dan belajar mandiri. Termasuk kesanggupan untuk menerima risiko rugi.
Justru pilihan untuk terjun ke dunia bisnis, lebih berisiko dan memerlukan kesediaan untuk belajar yang lebih tinggi dibanding perjalanan sukses lewat jalur pekerjaan formal.
Itulah beberapa hal penting yang dapat dipelajari dari kisah Bob Sadino.
(Nadya Kurnia)