Catatan Cak AT: Janji Damai Pencitraan

4 hours ago 2
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Janji Damai Pencitraan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Konon, pada suatu masa, dunia menanti juru selamat datang dari Timur.

Tapi entah bagaimana, tiba-tiba yang muncul justru dari arah Washington, dengan rambut pirang yang seolah menolak arah angin dan gaya pidato seperti salesman di pasar loak sejarah.

Nama juru selamat itu: Donald J Trump. Ia datang bukan membawa salib, tapi proposal perdamaian; bukan menumpahkan anggur, tapi minyak; bukan menyembuhkan yang luka, tapi menandatangani kontrak senjata.

Dunia bersorak. CNN, BBC, bahkan Aljazeera menyiarkan kabar: Hamas setuju proposal Trump.

Baca juga: Senator Paparkan Tantangan TNI di Masa Depan

Oh, betapa mulianya. Setelah tujuh puluh tujuh (77) tahun derita, sejak 1948 saat berdirinya negara Israel dan terjadinya Nakba, Palestina akhirnya ditawarkan kedamaian dari Gedung Putih —gedung yang catnya putih, tapi sejarahnya penuh darah.

Trump berbicara dengan gaya seorang pendeta di depan jemaat yang terpesona oleh mukjizat. "Mereka siap untuk perdamaian yang bertahan lama," katanya.

Lalu ia menatap kamera, menambahkan: "Israel harus berhenti membombardir Gaza." Dunia pun menghela napas, seolah mendengar sabda baru dari kitab politik modern: Injil Trump versi perdamaian global.

Namun di luar kamera, di atas reruntuhan Rafah dan Khan Younis, suara bom masih bersahut-sahutan. Di tengah seruan "Stop the war!", suara jet F-16 buatan Amerika meraung dari langit Israel membombardir Gaza.

Di balik setiap pidato Trump yang menenangkan, ada logistik senjata yang masih mengalir dari Pentagon ke pelabuhan Haifa. Ironi ini begitu sempurna, sampai-sampai para malaikat mungkin bingung: ini drama politik, atau parodi akhir zaman?

Baca juga: Anggota Komisi I DPRD Jabar Pradi Supriatna Menegaskan Pembangunan Perlu Secara Fundamental dan Tematik

Hamas menerima proposal itu dengan nada hati-hati. Sangat hati-hati, hingga perlu beberapa hari untuk mengambil keputusan.

Mereka menulis surat yang panjang, dengan bahasa penuh rasa tanggung jawab nasional dan semangat kemanusiaan. "Kami siap membebaskan semua sandera," tulis mereka, "hidup maupun mati."

Kalimat terakhir itu —"hidup maupun mati"— mengandung absurditas yang sulit dicari tandingannya: di tanah yang setiap hari dihujani rudal, perbedaan antara hidup dan mati memang hanya urusan menit. Tapi dunia seolah lega: Hamas sudah lunak, Amerika sudah bijak, dan Israel —ah, Israel— masih tetap di posisi "tidak berkomentar sambil mengebom."

Trump tampak seperti Yesus modern —tapi versi _reality show_. Ia mengundang para penonton untuk menyaksikan mukjizat perdamaian yang diatur dengan tenggat waktu: "Hamas harus menjawab sebelum Ahad pukul 14:00 waktu AS, kalau tidak, neraka akan meletus."

Kalimat itu lebih cocok untuk poster film laga ketimbang diplomasi internasional. Tapi beginilah gaya Trump: antara _entertainment_ dan ancaman nuklir, antara naskah Hollywood dan doa di gereja evangelis Texas.

Baca juga: Himpun Dana Masyarakat, Gubernur Jabar KDM Keluarkan SE Minta ASN dan Warga Donasi Rp1.000 per Hari

Lihatlah paradoks itu: perdamaian dipaksa dengan ancaman perang, gencatan senjata diatur dengan hitungan jam, dan setiap sandera menjadi tiket menuju tepuk tangan publik. Fokus Trump hanya pada pembebasan sandera, sangat personal. Sementara Gaza sendiri, tempat semua ini terjadi, masih tertutup debu dan air mata.

Hamas mungkin berpikir pragmatis: menerima proposal berarti membuka ruang negosiasi, bukan menyerah. Dalam pernyataannya, mereka bahkan menyebutkan keinginan menyerahkan administrasi Gaza kepada "badan Palestina independen berbasis konsensus nasional."

Itu sinyal politik yang matang, sebuah cara untuk menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan sekadar perlawanan bersenjata, tapi juga perebutan hak untuk mengatur diri. Tapi lihat bagaimana dunia membaca itu: Barat menafsirkannya sebagai tanda tunduk, sementara Israel menganggapnya jebakan.

Dan di tengah semua tafsir itu, Trump tampil sebagai "juru selamat" dengan toga diplomasi. Dalam pidato videonya, ia mengucapkan terima kasih kepada "Qatar, Turki, Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan banyak lainnya." Nama-nama itu meluncur seperti daftar sponsor acara amal.

Semua "bersatu dalam keinginan untuk mengakhiri perang," katanya. Tapi siapa yang memulai perang itu? Siapa yang menandatangani kontrak senjata bernilai miliaran dolar dengan Tel Aviv? Siapa yang memveto resolusi PBB hampir setiap kali kata "Palestina" muncul di dalamnya?

Baca juga: Reses, Anggota DPRD Depok Qonita Lutfiyah Berkewajiban Perjuangkan Aspirasi Warga

Tentu bukan Yesus. Tapi seseorang yang ingin tampak seperti sang juru selamat —dengan rambut lebih pirang dan ego lebih besar.

Inilah wajah politik perdamaian abad ke-21: bukan diplomasi, tapi branding; bukan keadilan, tapi narasi yang dijual dengan kamera 4K dan _caption_ bijak di Truth Social. Trump tahu dunia modern tidak mencari solusi, tapi tontonan.

Perdamaian bukan harus dicapai, cukup terlihat sedang diupayakan. Maka lahirlah proposal-proposal yang menenangkan hati investor, bukan korban perang.

Sementara itu, Netanyahu —yang selama ini menjadi arsitek blokade Gaza— tampak gelagapan. Ia "terkejut" dengan pernyataan Hamas, kata media Israel. Tentu saja: selama ini ia terbiasa mendikte, bukan mendengar.

Kini tiba-tiba Amerika —sekutu setia yang selama ini menyuplai bom— berbalik menjadi mediator yang meminta jeda. Bagi Netanyahu, itu seperti sahabat yang meminjamkan korek, lalu tiba-tiba memadamkan api.

Baca juga: Di HUT Ke-80 TNI, Prabowo Minta Panglima Ganti Organisasi yang Usang

Tapi jangan salah: semua ini hanya teatrikal diplomasi. Israel tahu Trump bukan akan menghentikan pasokan senjata; ia hanya mengatur tempo musiknya agar dunia menari dengan irama yang lebih "damai."

Lucunya, saat Hamas menyetujui pembebasan sandera, Israel tetap membombardir. Alasannya klasik: "Kami tidak mempercayai Hamas." Tapi dunia seperti kehilangan nalar bertanya: jika pihak yang dituduh teroris justru lebih dahulu menyatakan siap berdamai, maka siapa sebenarnya teroris di sini?

Kita sering lupa bahwa Palestina sesungguhnya sudah menjadi negara sejak lama. Tahun 1988, di Aljir, Yasser Arafat memproklamasikan berdirinya Negara Palestina yang merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Lebih dari 130 negara mengakuinya.

Pada 2012, PBB menaikkan statusnya menjadi _"non-member observer state"_. Tapi sejak itu, negara itu hidup seperti roh bergentayangan: diakui tapi tak berdaulat, ada di peta tapi tak punya pelabuhan, disebut merdeka tapi dikepung tembok.

Kini, setelah puluhan tahun darah tumpah, datanglah Trump menawarkan "dua negara merdeka" —seolah sedang menciptakan ulang sesuatu yang sudah ada tapi ia abaikan.

Baca juga: Catatan Cak AT: Kolonialisme Digital (2)

Ironi ini seperti lukisan surealis: seorang pria menjual payung di tengah badai yang ia ciptakan sendiri.

Tapi barangkali dunia memang senang dengan paradoks. Ketika Yesus dulu datang ke Yerusalem, orang berharap ia akan membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi.

Kini, dua ribu tahun kemudian, seorang pria dari Amerika datang ke Timur Tengah membawa janji serupa —membebaskan orang-orang dari perang yang sebagian besar disponsori negaranya sendiri. Sejarah berputar, tapi kali ini dengan _background music_ dari CNN.

Namun, di balik semua absurditas itu, ada satu hal yang tak bisa dibungkam: harapan rakyat Gaza. Mereka yang hidup di antara puing dan doa masih berpegang pada satu keyakinan sederhana: bahwa suatu hari, perdamaian bukan lagi hasil negosiasi politisi, tapi buah dari keadilan. Perdamaian bukan diundangkan dari Gedung Putih, tapi tumbuh dari reruntuhan rumah-rumah mereka sendiri.

Mungkin dunia belum siap untuk itu. Dunia lebih nyaman dengan simbol daripada substansi. Amerika lebih suka menjadi juru selamat daripada sekadar manusia biasa yang berhenti menjual bom. Tapi seperti kata seorang anak Gaza dalam wawancara Aljazeera, "Kami tidak butuh penyelamat. Kami butuh dunia berhenti menembak."

Baca juga: Menkomdigi Meutya Hafid Saksikan Pengukuhan Kepengurusan PWI Pusat di Surakarta, Tegaskan Dukung Kebebasan Pers

Dan di situlah mungkin perbedaan paling mencolok antara Sang Juru Selamat dan Trump. Yang satu mengorbankan diri untuk menyelamatkan manusia. Yang satu mengorbankan manusia untuk menyelamatkan citra.

Akhirnya, kita belajar bahwa perdamaian tanpa keadilan hanyalah jeda di antara dua perang. Dan juru selamat tanpa nurani hanyalah aktor di panggung politik yang terlalu sering menampilkan tragedi sebagai hiburan.

Gaza tahu itu. Dunia tahu itu. Tapi entah mengapa, semua berpura-pura tidak tahu. Mungkin karena dalam dunia modern ini, lebih mudah percaya pada mukjizat televisi ketimbang kenyataan darah di tanah suci. (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 6/10/2025

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |