REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) sebagai asosiasi Ormas Islam yang beranggotakan 14 ormas Islam yang telah berdiri sejak sebelum kemerdekaan, secara tegas menyampaikan sikap dan mengutuk keras berbagai narasi jahat yang menyebarkan kebencian dan mendiskreditkan dunia pesantren.
Pernyaan ini disampaikan beredarnya potongan video program "XPOSE" Trans7 yang menampilkan narasi bertajuk:
“Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”
Cuplikan tersebut kemudian viral di TikTok dan Instagram, memicu gelombang protes publik. Tayangan itu dinilai merendahkan martabat santri dan kiai karena menggambarkan kehidupan pesantren secara negatif dan provokatif tanpa data yang berimbang.
LPOI mensinyalir adanya sindikasi jahat yang anti terhadap pesantren dan umat Islam. Oleh karena itu, LPOI meminta kepada publik untuk mewaspadai berkembangnya sel-sel radikalisme yang masih menyusup di berbagai lini serta menggunakan berbagai topeng profesi untuk menghancurkan pilar-pilar penopang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketua Umum LPOI, Prof KH Said Aqil Siroj, mengatakan LPOI mengutuk keras penyebarluasan narasi jahat terhadap pesantren dan ekosistemnya.
Tindakan yang telah mereka lakukan bukan sekadar menyebarluaskan kebencian dan mendiskreditkan dunia pesantren, melainkan lebih dari itu telah membuktikan bahwa sel-sel radikalisme telah menyusup ke seluruh lini dan berusaha menghancurkan pesantren sebagai salah satu Pilar Bangsa serta merupakan bentuk Pelecehan Terhadap Umat Islam.
"Mereka berusaha menghilangkan peran pesantren, pimpinannya, serta umat Islam, yang secara nyata telah berjasa, berjuang, dan berkontribusi pada kemerdekaan Indonesia," kata Kiai Said kepada Republika.co.id, Selasa (14/10/2025).
Kiai Said yang juga Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyampaikan bahwa pihaknya mensinyalir ada upaya pembunuhan karakter (character assassination) yang terstruktur dan sistematis untuk menghancurkan dunia pesantren dan ekosistemnya. "Hal ini tidak dapat dibiarkan," kata dia.
Pembiaran terhadap realitas ini berpotensi menimbulkan kegaduhan berkepanjangan dan konflik horizontal yang akan mengganggu stabilitas nasional.
"Negara harus hadir dan tegas melindungi pesantren dan ekosistemnya dan tidak membiarkan begitu saja pelakunya berhenti diproses hanya karena telah meminta maaf," ujarnya.