Jakarta -
Negara-negara berkembang akhirnya mengambil langkah sendiri untuk memperkuat pembiayaan pembangunan. Lahirnya New Development Bank (NDB) yang diinisiasi oleh BRICS sejak 2014 disebut sebagai jawaban atas lambatnya reformasi lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan, negara-negara berkembang sudah lama kehilangan pengaruh dalam badan-badan multilateral besar. Sementara reformasi pada institusi warisan Bretton Woods itu berjalan sangat lambat, sehingga BRICS mengambil inisiatif sendiri.
"Tak kalah penting di konteks keuangan dan financial di bawah Bretton Woods institution, dalam hal ini adalah IMF dan World Bank. Nah karena memang selama ini reform di dalam konteks Bretton Woods institution itu sangat lambat, maka BRICS ambil inisiatif membentuk NDB," ujar Tata dalam konferensi pers usai mendampingi Presiden Prabowo Subianto di KTT BRICS di Brasil, Senin (7/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, NDB hadir untuk menjadi opsi pendanaan yang lebih adil bagi negara berkembang. "Jadi itu lah (NDB) yang menjadi opsi agar negara berkembang itu bisa adress permasalahan pembangunannya, dan pembiayaan pembangunannya sendiri. Itu reform yang mau didorong BRICS dan negara berkembang," tambah Tata.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan KTT BRICS mendorong agar NDB lebih agresif memperluas pembiayaan ke negara-negara berkembang. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut usulan itu bagian dari agenda penguatan kemitraan ekonomi negara-negara global south.
"Ini kemitraan ekonomi negara berkembang menjadi sangat penting dan diharapkan bahwa pemanfaatan dari New Development Bank bisa ditingkatkan," ujar Airlangga.
Ia juga memastikan Indonesia siap bergabung secara aktif dalam NDB untuk mengakses pembiayaan proyek-proyek strategis, terutama yang mendukung transformasi hijau dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Airlangga menyebut potensi pembiayaan dari NDB untuk Indonesia mencapai US$ 39 miliar atau sekitar Rp 627,9 triliun, mencakup 120 proyek energi terbarukan, infrastruktur, serta ekonomi hijau dan sirkular.
(hal/rrd)