Presiden Cyril Ramaphosa Afrika Selatan sedang mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel kepada para anggota parlemen Afsel pada Kamis (17/10
Afrika Selatan Pertimbangkan Putus Hubungan Diplomatik dengan Israel. (Foto: MNC Media)
IDXChannel - Presiden Cyril Ramaphosa Afrika Selatan sedang mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel kepada para anggota parlemen Afsel pada Kamis (17/10).
Pada saat yang sama, Ramaphosa menegaskan bahwa dukungan Afrika Selatan pada perjuangan Palestina tetap "tidak dapat diganggu gugat."
“Masalah ini (pemutusan hubungan dengan Israel) sedang dipertimbangkan dengan sangat aktif, dan pada waktunya kami akan dapat menyampaikan secara jelas tanggapan eksekutif terhadap resolusi yang diambil oleh Majelis Nasional,” ujarnya.
Pernyataan itu dikeluarkan Ramaphosa saat merespons pertanyaan tentang resolusi tidak mengikat, yang disahkan parlemen pada November lalu dan berisi desakan agar Pretoria memutus hubungan dengan Tel Aviv setelah Israel melancarkan perang di Gaza.
Ketika menanggapi pertanyaan pemimpin partai Economic Freedom Fighters, Julius Malema, yang mengacu pada keputusan Brazil untuk menarik duta besar dari Israel, Ramaphosa menekankan bahwa pemerintahannya tidak "enggan" ataupun "pengecut."
“Masalah ini sedang dipertimbangkan, dan kami sedang mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas terkait hal tersebut,” katanya, tentang resolusi yang disahkan oleh parlemen.
Parlemen menginginkan kedutaan besar Israel di Pretoria, ibu kota pemerintah Afrika Selatan, juga ditutup.
Dalam pesannya kepada Ramaphosa, Malema menegaskan bahwa rakyat Afrika Selatan "tidak bisa hidup berdampingan dengan para pembunuh, pemerkosa (yang) membunuh wanita dan anak-anak serta berusaha menghancurkan bangsa Palestina."
Pada Maret tahun lalu, parlemen Afrika Selatan juga memberikan suara mendukung mosi yang akan menurunkan status kedutaan Afsel di Israel menjadi kantor penghubung, menyusul pelanggaran terus-menerus terhadap rakyat Palestina.
Afrika Selatan menjalin hubungan diplomatik dengan Palestina pada 1995, satu tahun setelah pemerintahan kulit putih minoritas berakhir.
Sejak saat itu, Pretoria terus mengkritik keras perlakuan Israel terhadap rakyat Palestina, termasuk kebijakan pembangunan permukiman ilegal Yahudi di tanah Arab di Tepi Barat yang diduduki.
Afrika Selatan pada akhir 2023 mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional, yang berbasis di Den Haag, Belanda, dengan menuduh Israel -- yang membombardir Gaza sejak Oktober tahun lalu -- tidak mematuhi mandat Konvensi Genosida 1948.
Beberapa negara, termasuk Turki, Nikaragua, Palestina, Spanyol, Meksiko, Libya, dan Kolombia, telah bergabung dalam kasus yang diajukan Afsel itu. Mahkamah mulai menyidangkan kasus tersebut secara terbuka pada Januari.
Pengadilan tertinggi itu pada Mei memerintahkan Israel untuk menghentikan serangan di Kota Rafah, Gaza selatan.
Panel hakim beranggotakan 15 orang itu sudah tiga kali mengeluarkan perintah sementara agar tidak ada lagi korban berjatuhan. Perintah itu juga dikeluarkan untuk meringankan penderitaan kemanusiaan di wilayah yang diblokade.
Jumlah korban jiwa akibat serangan Israel di Jalur Gaza telah melampaui 42.400 orang.
(Dian Kusumo Hapsari)