
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Donald Trump untuk mendorong penetapan Ikhwanul Muslimin (selanjutnya disingkat IM) sebagai organisasi teroris global memunculkan dinamika geopolitik baru di kawasan Timur Tengah. Walau kebijakan itu belum diterapkan sepenuhnya, gagasan tersebut terus muncul dalam wacana politik Amerika Serikat dan sejumlah negara sekutunya.
Salah satu motif yang kerap disebut adalah dukungan panjang IM terhadap perjuangan Palestina, termasuk hubungan sejarah IM dengan Hamas yang lahir dari gerakan itu pada akhir 1980-an saat Intifada 1 meletus.
Di luar keberatan akademis dan keberatan sejumlah lembaga HAM internasional, isu ini mengandung konsekuensi geopolitik yang lebih luas, terutama bagi negara-negara Muslim yang aktif menyuarakan dukungan untuk Palestina, termasuk Indonesia.
Narasi Baru "Perang Melawan Terorisme"
Setelah 9/11 di tahun 2001, skenario “Global War on Terror” berfokus pada Alqaeda, Taliban Afghanistan, dan kemudian Irak serta ISIS. Namun dalam satu dekade terakhir, pusat konflik geopolitik mulai bergeser. Israel, Arab Saudi, dan UEA—tiga aktor yang paling vokal dalam menekan IM—sering melihat gerakan tersebut sebagai ancaman politik domestik sekaligus pesaing ideologis di kawasan.
Upaya menempatkan IM sebagai teroris dapat dibaca sebagai langkah untuk memperluas definisi kelompok “radikal” guna mencakup organisasi politik Islam yang memiliki basis sosial luas dan dukungan massa. Dengan kata lain, targetnya bergeser dari kelompok militan bersenjata ke gerakan politik Islam yang relatif moderat namun memiliki pengaruh geopolitik secara global.
Jika skenario ini berkembang, “perang melawan teror” berpotensi memasuki babak baru: bukan hanya melawan kelompok ekstrem, tetapi juga melawan jejaring politik sipil Islam yang kritis terhadap Israel dan pendudukan di Palestina.
Dampak bagi Gerakan Solidaritas Palestina
Ikhwanul Muslimin merupakan salah satu aktor regional yang paling konsisten mendukung perjuangan Palestina sejak didirikan oleh Hasan Al-Banna pada 1928. Banyak cabangnya, termasuk di Mesir, Yordania, Suriah, Libya, Tunisia, Irak, Yaman, Saudi, Qatar dan Kuwait menjadi basis mobilisasi opini publik untuk isu tersebut. Hamas lahir dari rahim IM Gaza, meski kini memiliki karakter dan struktur tersendiri.
Jika IM dilabeli sebagai organisasi teroris global, sejumlah konsekuensi strategis dapat muncul:
Pertama, Narasi perlawanan Palestina mudah dikaitkan dengan “ekstremisme”; Ini memberi ruang bagi Israel untuk mendeligitimasi bentuk perlawanan apa pun, baik politik maupun bersenjata, sebagai bagian dari jaringan IM.
Kedua, Tekanan diplomatik terhadap negara-negara pendukung Palestina; Pemerintah dapat ditekan untuk membatasi kerja sama tokoh, ulama, atau organisasi masyarakat yang dituduh dekat dengan IM.
Ketiga, Penggerusan dukungan publik internasional; Di negara Barat, label “teroris” berdampak langsung pada opini publik, pendanaan kemanusiaan, dan ruang gerak organisasi solidaritas.
Keempat, Peluang kriminalisasi terhadap solidaritas; Jika narasi diperluas, kampanye pro-Palestina tertentu dapat dikaitkan secara tidak langsung dengan simpati terhadap “gerakan terlarang”. Ini dapat menciptakan efek jera politik.
.png)
1 hour ago
1
















































