Prospek ekonomi hijau tidak terlepas dari pengaruh kebijakan politik, terutama dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi hijau global. (Foto: Pixabay)
IDXChannel – Ekonomi hijau atau green economy menjadi salah satu strategi utama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim global dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pada 2025, ekonomi hijau diproyeksikan terus berkembang seiring meningkatnya kesadaran pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat global akan pentingnya keberlanjutan.
Dalam green economy, yang menjadi fokus utama adalah pengurangan emisi karbon, efisiensi penggunaan sumber daya alam, dan inklusivitas sosial. Akan tetapi, berbagai faktor geopolitik dan dinamika kebijakan, termasuk kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, dapat memengaruhi prospek ekonomi hijau global di masa depan.
Ekonomi hijau menawarkan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus melindungi lingkungan. Investasi dalam energi terbarukan, teknologi rendah karbon, dan praktik bisnis yang berkelanjutan menjadi motor utama penggerak transisi ini.
Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menggalakkan inisiatif global untuk mendukung ekonomi hijau, termasuk melalui perjanjian multilateral seperti Perjanjian Paris. Namun, implementasi green economy menghadapi tantangan seperti kebutuhan investasi awal yang besar, resistensi dari industri berbasis bahan bakar fosil, dan ketimpangan akses teknologi di negara berkembang.
Salah satu aspek penting dalam ekonomi hijau adalah bursa karbon, yang memungkinkan perdagangan kredit karbon sebagai cara mengelola emisi secara efisien. Pasar karbon global diperkirakan akan tumbuh pesat, memberikan insentif finansial untuk proyek-proyek pengurangan emisi seperti reforestasi, pengembangan energi terbarukan, dan pengelolaan limbah. Kendati demikian, prospek ini tidak terlepas dari pengaruh kebijakan politik, terutama dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Posisi investasi hijau global saat ini
Investasi hijau, yang berfokus pada pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan dan berkelanjutan, telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran global terhadap ancaman perubahan iklim dan kebutuhan mendesak untuk beralih ke ekonomi rendah karbon.
Salah satu indikator utama pertumbuhan investasi hijau adalah penerbitan obligasi hijau (green bonds). Menurut data Climate Bonds Initiative, penerbitan green bonds secara global terus mengalami kenaikan tajam. Pada 2020, total penerbitan mencapai sekitar USD269,5 miliar, naik dari USD171,3 miliar pada 2018. Tren ini menunjukkan potensi besar dengan proyeksi mencapai USD1 triliun pada 2023.
Di Indonesia, dukungan terhadap investasi hijau juga tumbuh pesat. Sejak pemerintah menerbitkan Green Sukuk pertama kali pada 2018, dana yang berhasil dihimpun hingga 2024 telah melampaui USD7,2 miliar. Dana ini digunakan untuk mendanai proyek-proyek berkelanjutan, termasuk yang berhasil menurunkan emisi karbon hingga 10,5 juta ton CO2e.
Selain itu, institusi keuangan di Indonesia, seperti Bank Mandiri, turut memperkuat komitmen mereka terhadap investasi berkelanjutan. Pada 2023, portofolio pembiayaan hijau Bank Mandiri mencapai Rp205 triliun, dengan porsi yang signifikan diarahkan pada sektor energi terbarukan. Meskipun pertumbuhan investasi hijau menunjukkan potensi yang menjanjikan, ada beberapa tantangan yang harus diatasi.
Berbagai hambatan seperti ketidakpastian ekonomi global, tingginya kebutuhan akan kebijakan yang mendukung, serta kesiapan infrastruktur masih memerlukan perhatian serius. Diperlukan komitmen kuat dari berbagai pihak agar investasi hijau bisa terus berkembang dan memainkan peran penting dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di masa depan.