Pandemi COVID telah mempercepat adopsi layanan digital sehingga mendorong perbankan untuk meningkatkan interaksi dan transaksi secara online.
Outlook: Menakar Kinerja Perbankan di 2025 (FOTO:MNC Media)
IDXChannel - Sepanjang 2025, sektor usaha diprediksi menghadapi masa transisi untuk beradaptasi perubahan arah kebijakan. Meski demikian, relaksasi kebijakan moneter dinilai mampu mendorong pertumbuhan perbankan.
Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan kredit perbankan di kisaran 11-13 persen pada 2025, lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi 2024 sekitar 10-12 persen. Hal ini menunjukkan optimisme terhadap pemulihan ekonomi dan peningkatan permintaan kredit di sektor-sektor prioritas yang dapat menciptakan lapangan kerja.
Dikutip dari laman Perbanas Rabu (8/1/2025), tahun ini perbankan Indonesia akan mengalami transformasi yang cukup signifikan. Hal tersebut bisa terlihat dari perhatian yang cukup tinggi ke arah digitalisasi, pertumbuhan kredit, dan kebijakan makroprudensial.
Dari sisi digitalisasi, perbankan akan melakukan banyak inovasi dan bertransformasi. Hal ini juga menjadi salah satu pilar utama dalam perkembangan perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah meluncurkan roadmap untuk transformasi digital yang mencakup beberapa inisiatif, seperti penguatan infrastruktur teknologi informasi dan kolaborasi dengan fintech.
Pandemi COVID telah mempercepat adopsi layanan digital sehingga mendorong bank untuk meningkatkan interaksi dan transaksi secara online.
Meskipun terdapat proyeksi positif, tantangan likuiditas dan meningkatnya biaya dana diperkirakan akan membayangi kinerja bank, terutama Bank BUMN. Sementara, ketidakpastian global, termasuk dampak pemilihan umum di luar negeri dapat memperburuk kondisi likuiditas.
Di sisi lain, inisiatif open banking diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan, memperkuat daya saing perbankan, dan mendukung integrasi antara fintech dan bank tradisional. Hal ini sejalan dengan visi Bank Indonesia untuk menciptakan ekosistem pembayaran yang lebih efisien dan inklusif.
Secara keseluruhan, perkembangan perbankan di 2025 akan menunjukkan kombinasi antara peluang dalam digitalisasi dan tantangan yang harus dihadapi terkait likuiditas dan biaya operasional. Meski demikian, adaptasi terhadap perubahan ini menjadi kunci bagi keberhasilan sektor perbankan di masa depan.
Sementara itu, menurut OJK, perbankan nasional di 2025 berpotensi mendapatkan sejumlah sentimen positif. Salah satu sentimen positif yang akan mewarnai kinerja industri perbankan yakni pelonggaran kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
OJK mengatakan, proyeksi pertumbuhan kredit pada 2025 baru akan mulai disusun dalam bentuk Rencana Bisnis Bank (RBB) 2024.
Kinerja Bank Syariah Diramal Tumbuh PositifPerbankan syariah diprediksi mengalami dinamika yang positif pada tahun ini. Hal tersebut didorong oleh implementasi spin-off Unit Usaha Syariah (UUS) dan konsolidasi perbankan syariah sesuai dengan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023-2027.
Hingga Oktober 2024, aset industri perbankan syariah tumbuh 12,50 persen (yoy), lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 10,49 persen (yoy). Penyaluran pembiayaan juga tumbuh 13,24 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun lalu (12,22 persen, yoy) dan diikuti Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh sebesar 10,43 persen (yoy).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendukung dan mengakselerasi pengembangan dan penguatan industri perbankan syariah nasional dengan meningkatkan ketahanan dan daya saing, serta kontribusinya bagi pembangunan sosial dan ekonomi nasional.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menuturkan, OJK akan fokus pengembangan perbankan syariah pada lima area yaitu konsolidasi bank syariah, pembentukan Komite Pengembangan Keuangan Syariah, penyusunan pedoman produk dan pengembangan keunikan produk, penguatan peran perbankan syariah pada ekosistem ekonomi syariah, dan peningkatan peran bank syariah pada pengembangan UMKM.
Prediksi Suku Bunga The Fed di 2025
The Fed menaikkan ekspektasinya terhadap suku bunga kebijakan sebesar 50 basis poin pada 2025 dan 2026.
Dikutip dari laman jpmorgan Rabu (8/1/2025), pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Desember 2024, Federal Reserve (Fed) menurunkan suku bunga 25 basis poin.
Hal ini menurunkan target kisaran suku bunga menjadi 4,25 pesen hingga 4,5 persen dan mencerminkan komitmen berkelanjutan Fed untuk mencapai lapangan kerja maksimum dan stabilitas harga.
Sementara itu, pasar ekuitas anjlok hampir 3 persen setelah keputusan pemotongan suku bunga yang agresif. Keputusan Fed menandai pemotongan suku bunga secara berturut-turut, menyusul penurunan 25 basis poin pada November dan penurunan 50 basis poin pada September 2024. Adapun pemangkasan pada September 2024 sangat penting karena merupakan pemangkasan pertama dalam empat tahun.
Bank sentral dunia diprediksi melanjutkan pemangkasan suku bunga acuan mereka pada 2025. Namun, langkah tersebut bakal dilakukan secara lebih hati-hati. Dilansir dari Bloomberg, bank sentral dunia akan memantau kebijakan ekonomi presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Mereka juga mengkhawatirkan melonjaknya kembali inflasi.
Trump adalah sosok yang menghantui para pemimpin bank sentral dunia. Jika diberlakukan, lenaikan tarif perdagangan yang diancamnya dapat merugikan pertumbuhan ekonomi dan juga memicu lonjakan harga konsumen.
Bloomberg Economics memproyeksikan agregat suku bunga bank sentral negara maju akan turun 72 basis poin pada 2025, atau lebih rendah dibandingkan 2024. Sementara itu, suku bunga bank sentral negara maju rata-rata bergerak dari 3,6 persen pada akhir 2024 menjadi 2,9 persen pada akhir 2025.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penurunan Fed Funds Rate (FFR) diperkirakan lebih lambat akibat inflasi yang lebih tinggi tersebut. Tingkat inflasi tahunan di AS naik menjadi 2,7 persen pada November 2024 dari 2,6 persen pada Oktober.
Menurutnya, inflasi dunia meningkat dibandingkan perkiraan sebelumnya dipengaruhi oleh gangguan rantai suplai. "Sementara itu, kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang," ujarnya.
(kunthi fahmar sandy)