Oleh : KH Mukti Ali Qusyairi, alumni Pesantren Lirboyo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pesantren sejak semula hadir membersamai kaum marginal, lemah, jauh dari akses pada kekuasaan dan sumberdaya, miskin, dan pedesaan.
Pesantren adalah lembaga pendidikan alternatif bagi orang tua yang ingin anaknya bisa sekolah dan mesantren agar menjadi anak shaleh dengan keuangan keluarga yang lemah, dan lembaga yang dianggap oleh masyarakat bisa menjadi solusi dalam menyelesaikan kenakalan remaja.
Setidaknya dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan tentang landasan teologis dan sosiologis tiga tradisi pesantren yang penting diketahui publik.
Ndalem
Yang paling terasa dan kentara adalah kiai menjadi bapak asuh bagi anak-anak santri dari kalangan masyarakat kurang mampu. Dikenal dengan endalem dalam tradisi pesantren Jawa atau abdi ndalem.
Ndalem diberi pekerjaan tertentu, misal menjaga kantin, memasak, belanja bahan mentah untuk memasak, menjaga tokoh kitab, mengurus sapi ternak, membersihkan rumah dan pekerjaan yang lain.
Imbalan yang didapat dari kiai adalah endalem mendapatkan makan dan minum gratis, biaya sekolah dan pesantren gratis. Mendapatkan jamu atau obat untuk kesehatan. Ini dari aspek materi.
Ada aspek non materi yang jauh lebih berharga. Pertama, seorang ndalem punya kesempatan dekat dengan kiai. Lebih dekat dari santri-santri yang lain.
Pandangan seorang ulama yang dituangkan dalam sebuah syair dikatakan bahwa obat hati itu di antaranya adalah bergaul dan dekat dengan ulama shaleh.
Kedua, mendapatkan sekill dan keahlian yang digelutinya. Ini bisa menjadi modal atau bekal kelak sudah pulang kampung.
Contoh konkret saya punya teman sekelas namanya Jumeno. Dulu ia ndalem bagian jaga toko kitab. Ketika jaga toko, ia menjadi belajar bisnis jualan kitab. Ia tahu membeli kitab yang harga murah di mana, grosiran, jaringan dan dari hulu ke hilir bisnis tokoh kitab dikuasainya dengan baik.
Akhirnya ilmu bisnis itu sangat bermanfaat di saat pulang kampung. Ia merintis bisnis toko kitab dan maju.