CNN Indonesia
Senin, 03 Mar 2025 18:35 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Keluarga warga Israel yang menjadi sandera Hamas menuduh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sengaja memperpanjang agresi brutalnya ke Jalur Gaza Palestina demi kepentingan pribadi dan politik.
Saat ini, Israel meyakini masih ada 59 orang yang disandera Israel, 24 di antaranya diyakini masih hidup. Para keluarga sandera pun rutin turun ke jalan menggelar protes mendesak Netanyahu segera menyetujui kesepakatan gencatan senjata sebagai bagian dari syarat pembebasan sandera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip Al Jazeera pada Senin (3/3), terlepas dari tekanan yang datang dari keluarga sandera maupun komunitas internasional, Israel tetap bersikeras siap kembali berperang dan mengabaikan gencatan senjata.
Tel Aviv bahkan berulang kali menyatakan siap menghadapi perang besar lainnya karena merasa belum mencapai tujuan dan sasaran mereka meskipun telah berperang selama 15 bulan sejak 7 Oktober 2023 lalu.
Netanyahu bahkan berbicara beberapa kali pada Minggu untuk membenarkan keputusan Israel memblokir bantuan kemanusiaan penting masuk ke Gaza.
Israel ingin menekan Hamas agar memenuhi tuntutan mereka terkait perpanjangan kesepakatan gencatan senjata.
Israel menyatakan ingin memperpanjang fase pertama guna membebaskan sebanyak mungkin sandera, tetapi tanpa berkomitmen apakah akan mematuhi kesepakatan awal dan melanjutkan fase kedua dari kesepakatan.
Padahal, fase kedua gencatan senjata berdasarkan kesepakatan awal akan mengarah pada penghentian perang sepenuhnya, termasuk penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza.
Netanyahu juga mengatakan bahwa tuntutan Hamas serta visi mereka untuk mengakhiri perang dianggap "tidak realistis" dan tidak sejalan dengan keinginan Israel.
(rds/bac)