Kebijakan BMAD, Asosiasi Industri: Picu Kenaikan Biaya Bahan Baku Secara Signifikan

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kontroversi kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk PP Copolymer dan PP Homopolymer serta pengenaan safeguard LLDPE terus menuai penolakan dari berbagai pihak.

Empat asosiasi besar, yaitu GAPMMI (Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia), GABEL (Gabungan Perusahaan Industri Elektronik dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga Indonesia), IPF (Indonesia Packaging Federation), dan ADUPI (Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia), bersatu menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap dampak kebijakan tersebut terhadap industri hilir.

Keempat asosiasi menilai kebijakan BMAD dan safeguard LLDPE justru akan memicu kenaikan biaya bahan baku secara signifikan. Peningkatan biaya itu, menurut mereka, bukan hanya akan mengurangi daya saing produk lokal, tetapi juga membebani industri padat karya seperti makanan-minuman, elektronik, dan daur ulang plastik.

Situasi ini bahkan dinilai bisa membuka peluang masuknya produk impor jadi secara besar-besaran ke pasar domestik karena harga produk dalam negeri menjadi kurang kompetitif.

Dalam pernyataannya, asosiasi menyebut kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp10 triliun, sebuah angka yang akan berdampak luas pada iklim investasi dan keberlanjutan lapangan kerja.

Meski menyampaikan penolakan, asosiasi industri tidak datang dengan kritik semata. Mereka menekankan pentingnya kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dan menyatakan komitmen untuk memberikan data supply-demand, proyeksi ekonomi, hingga analisis harga bahan baku agar pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan ini secara adil.

Mereka juga mendorong adanya ruang dialog terbuka dengan pemerintah, khususnya dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk mencari solusi yang berimbang antara perlindungan industri hulu dan keberlangsungan industri hilir.

Menanggapi keresahan tersebut, Ano Juhana, Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap potensi dampak kebijakan BMAD.

“Kami di Kemenko Perekonomian berkomitmen melindungi rantai industri plastik dari hulu hingga hilir melalui penguatan basis data supply-demand industri sebagai dasar kebijakan berbasis bukti,” kata Ano Juhana.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa pemerintah membuka ruang dialog intensif dengan pelaku industri. “Masukan dari asosiasi sangat penting, terutama bila dilengkapi dengan data teknis dan analisis ekonomi. Hal ini akan menjadi bahan pertimbangan utama dalam merumuskan kebijakan yang seimbang,” jelasnya.

Ano juga menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa ditangani satu instansi saja, melainkan memerlukan sinergi lintas kementerian dan lembaga. “Kolaborasi antarinstansi menjadi kunci untuk menemukan solusi yang berimbang, sehingga kebijakan yang diambil mampu mendukung pertumbuhan industri nasional tanpa mengorbankan sektor hilir yang menjadi penopang banyak tenaga kerja,” ujarnya.

Perdebatan mengenai BMAD sesungguhnya mencerminkan dilema struktural dalam kebijakan industri di Indonesia: bagaimana melindungi produsen hulu dari praktik dumping yang merusak pasar, tanpa mengorbankan daya saing sektor hilir yang justru menyerap tenaga kerja besar dan menjadi ujung tombak ekspor serta konsumsi domestik. Jika keseimbangan ini tidak terjaga, rantai pasok industri nasional berisiko terganggu, investasi bisa terhambat, dan produk lokal makin sulit bersaing dengan barang impor.

Kini, semua pihak menunggu langkah pemerintah berikutnya. Asosiasi industri berharap suara mereka menjadi bagian dari pertimbangan kebijakan, sementara pemerintah menegaskan komitmennya untuk mencari jalan tengah melalui dialog dan basis data yang kuat. Seperti disampaikan Ano Juhana, “Tujuan kami bukan hanya mengatur arus impor, tetapi memastikan kebijakan yang ada mendukung pertumbuhan industri nasional secara menyeluruh.”

sumber : Antara

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |