REPUBLIKA.CO.ID, CIANJUR -- Manajemen Grand Aston Puncak menyatakan telah rutin membayar royalti musik sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi hak cipta. General Manager Grand Aston Puncak, Andi Grinaldi, mengatakan kewajiban tersebut dijalankan sebagai wujud penghormatan terhadap karya para musisi dan pencipta lagu.
"Kami selalu jalankan kewajiban membayar royalti musik. Ini kan berkaitan dengan hak cipta, dan kami sebagai pengusaha tentu menghormati itu," kata dia dalam temu media di Grand Aston Puncak, Cianjur, Kamis (16/10/2025).
Menurut Andi, Grand Aston Puncak telah memiliki lisensi resmi untuk penggunaan musik di area hotel dan secara rutin menjalankan kewajiban tersebut kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). "Kita pastikan kita lakukan sesuatu ke LMKN. Soal penyaluran atau transparansi, kami percayakan pada lembaganya," kata dia.
Andi juga menyoroti pentingnya sosialisasi jika terjadi perubahan dalam kebijakan terkait hak cipta dan royalti musik. la berharap pelaku usaha mendapatkan informasi yang cukup agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasi aturan.
"Harapannya kalau ada peraturan baru, ya disosialisasikan dulu. Biar jelas titik temunya dan sama-sama aman," kata Andi.
Isu royalti musik kembali mencuat di Indonesia usai penyanyi Agnez Mo digugat senilai Rp1,5 miliar oleh pencipta lagu Ari Bias atas dugaan pelanggaran hak cipta. Meski sempat dinyatakan bersalah di tingkat pertama, Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan kasasi Agnez.
Kasus lain muncul ketika jaringan restoran Mie Gacoan dilaporkan memutar musik tanpa izin di gerainya di Bali. Direktur waralaba restoran itu bahkan ditetapkan sebagai tersangka karena tidak membayar royalti sejak 2022. Kasus ini berakhir damai setelah restoran membayar royalti sebesar Rp2,2 miliar.
Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu kinerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan LMK juga disorot, terutama terkait transparansi pengelolaan dan penyaluran royalti kepada para pencipta lagu. Sejumlah musisi menilai sistem distribusi masih belum optimal dan meminta adanya reformasi dalam tata kelola lembaga kolektif pengumpul royalti.
Merespons situasi ini, DPR bersama pemerintah mulai membahas revisi Undang-Undang Hak Cipta. Pembahasan difokuskan pada penyempurnaan sistem royalti yang lebih adil, transparan, dan menjamin kesejahteraan pencipta lagu. DPR menargetkan revisi dapat rampung dalam waktu dekat sebagai bagian dari perbaikan menyeluruh terhadap ekosistem industri musik nasional.