Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator ECOFITRAH, peminat kajian strategis, keluarga FKPPI dan ICMI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di awal abad ke-21, dunia menyambut tokoh-tokoh pemikir yang menulis dengan gaya provokatif,futuristik, dan menegangkan. Salah satu di antaranya adalah Yuval Noah Harari, sejarawan asal Israel yang mendunia lewat dua karyanya: Sapiens: A Brief History of Humankind dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.
Dalam buku terakhir itulah Harari mengemukakan pandangan yang mengguncang kesadaran banyak kalangan -- bahwa manusia sedang menuju fase baru: Homo Deus, “manusia yang menjadi dewa bagi ciptaannya sendiri.”
Menurut Harari, setelah ribuan tahun bergulat melawan kelaparan, wabah, dan perang, manusia kini menjadi makhluk yang mampu mengedit gen, menciptakan kecerdasan buatan, mengendalikan ekosistem, bahkan meniru fungsi penciptaan.
Bagi banyak pembaca, Harari adalah cermin keberanian intelektual. Namun bagi mereka yang masih memegang kompas fitrah, ia justru menampilkan puncak dari kesombongan intelektual modern-suatu bentuk baru dari deifikasi manusia yang mengulangi kisah Fir’aun: ingin menjadi pengatur nasib, sumber hukum, dan penguasa atas kehidupan itu sendiri.
Dalam konteks inilah, tulisan ini hadir bukan untuk menolak sains atau menafikan kemajuan teknologi, tetapi untuk memberi jawaban dari sisi fitrah: sebuah kritik spiritual-rasional terhadap pandangan Harari yang telah menggeser manusia dari posisinya sebagai khalifah menjadi eksperimen algoritmik.
Ketika Ilmu Tanpa Fitrah Menjadi Bumerang
Yuval Harari dalam berbagai forum seperti World Economic Forum (WEF), TED Talks, dan wawancara media besar, sering menyatakan bahwa manusia sedang berada di ambang revolusi eksistensial. Revolusi ini bukan lagi industri, tapi bioteknologi dan data (Dataism). Ia menyebut, di masa depan, siapa yang menguasai data, akan menguasai kehidupan.
Dalam skema itu, manusia tidak lagi bernilai karena kesadarannya, melainkan karena kegunaannya dalam sistem ekonomi dan algoritma. Ketika mesin dapat berpikir, bekerja, dan mencipta lebih cepat, maka akan muncul “kelas manusia tak berguna” -- useless class -- yang kehilangan relevansi dalam tatanan global.
Ia menulis: “Now we see the creation of a massive class of useless people. The question will not be ‘What will we do about inequality?’ but ‘What will we do with all these useless people"?
(Kini kita menyaksikan terciptanya kelas besar orang-orang yang tidak berguna. Pertanyaannya bukan lagi 'Apa yang akan kita lakukan untuk mengatasi ketimpangan?', melainkan 'Apa yang akan kita lakukan terhadap semua orang yang tidak berguna ini"?)
Ucapan ini menjadi kontroversial karena dianggap menafikan harkat manusia. Harari bahkan menambahkan, satu-satunya “hiburan” yang mungkin bagi kelas manusia tak berguna ini adalah “drugs and computer games”.
Apabila pandangan ini dibaca secara dangkal, ia tampak sebagai peringatan. Namun jika dicermati secara konseptual, di baliknya tersimpan pandangan sekuler tentang manusia: bahwa nilai manusia terletak pada produktifitas, bukan pada kehadiran spiritualnya.
Padahal dalam pandangan fitrah – sebagaimana diisyaratkan Alquran (QS Al-Isra’:70) – “Sungguh Kami telah memuliakan anak Adam.”
Kemuliaan itu bukan akibat fungsi ekonomi, tetapi karena manusia diberi amanah, akal, dan ruh Ilahi.
Ketika Harari berbicara tentang useless people, ia tanpa sadar mengafirmasi logika utilitarian yang selama ini menjadi akar kapitalisme: manusia hanya berguna sejauh bisa dikomodifikasi. Maka, ketika robot lebih efisien, manusia menjadi residu peradaban -- seperti “pemakan tak berguna".Inilah bentuk ekstrem dari sains tanpa hikmah: ilmu yang kehilangan rahmat.
Homo Deus dan Reinkarnasi Firaunisme
Buku Homo Deus adalah tafsir modern atas keangkuhan klasik. Ia adalah upaya rasional untuk menjadikan manusia sebagai “pengatur segala sesuatu”, dengan algoritma dan bioteknologi sebagai tongkat sihirnya.
Namun sejarah spiritual manusia menunjukkan, setiap upaya deifikasi manusia selalu berujung kehancuran.Fir’aun berkuasa dengan simbol teknologi: piramid, sistem irigasi, dan militerisasi. Namun ia berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (QS An-Nazi‘at:24).Kini, pernyataan itu muncul dalam bentuk baru: “Manusia akan menjadi dewa bagi dirinya sendiri.” – Harari, Homo Deus.
Perbedaannya hanya pada medium. Jika Fir’aun memuja diri melalui monumen, Harari memuja manusia melalui data dan AI. Namun keduanya menolak sumber transendensi yang sama: Allah sebagai pemilik kehidupan.
Harari bahkan menulis, “We don’t need God to define good and evil. It’s just a matter of algorithms and human choice".
("Kita tidak butuh Tuhan untuk mendefinisikan baik dan jahat. Ini hanya soal algoritma dan pilihan manusia".)
Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam paradigma sekuler-digital, moralitas bukan lagi wahyu, tapi hasil kalkulasi mesin.
Namun di sinilah kesalahan epistemologisnya. Jika kebaikan ditentukan oleh algoritma, maka siapa yang menulis algoritma itu? Manusia juga.Maka sistem moralnya berputar pada relativisme buatan. Tidak ada kebenaran tetap. Tidak ada nilai yang mutlak. Akibatnya, bisa kehilangan orientasi.
Dataisme dan "Agama Baru" Tanpa Ruh
Harari memperkenalkan istilah Dataism, sebuah “agama baru” yang menjadikan data sebagai entitas tertinggi. “The universe consists of data flows, and the value of any phenomenon or entity is determined by its contribution to data processing.” (“Alam semesta terdiri dari aliran data, dan nilai setiap fenomena atau entitas ditentukan oleh kontribusinya terhadap pemrosesan data").
Dalam pandangan ini, manusia hanyalah node, titik koneksi dalam jaringan data global. Ia tidak memiliki nilai intrinsik. Manusia hanya berguna sejauh ia menghasilkan data: klik, konsumsi, gerak, bahkan detak jantung.
Di satu sisi, teori ini memang menggambarkan realitas era digital secara tajam. Namun di sisi lain, ia menihilkan makna spiritual dari eksistensi manusia.
Padahal fitrah manusia bukan hanya entitas biologis yang bergerak; ia makhluk moral dan transenden.Ketika nilai diukur dari data contribution, maka bayi, lansia, dan orang sakit tidak lagi dianggap berharga.
Inilah puncak dehumanisasi modern -- saat kuantifikasi menggantikan kasih sayang, dan sains menggantikan rahmat.
Sementara Alquran menegaskan bahwa setiap jiwa bernilai, bahkan satu nyawa setara dengan seluruh kehidupan (QS Al-Maidah:32).
Maka, "agama" Dataisme yang dipromosikan Harari bukanlah kemajuan, melainkan bentuk paganisme digital, di mana manusia menyembah algoritma dan statistik.
Fitrah Sebagai Paradigma Solutif
Dalam menghadapi narasi global seperti Harari, kita tidak cukup hanya menolak. Kita perlu memviralkan paradigma solutif: Fitrah.
Fitrah adalah sistem paling purba -- bukan dalam arti primitif, tapi asli dan otentik, sebagaimana manusia pertama diciptakan.
Fitrah mengandung tiga dimensi utama:
Tauhid (spiritual): manusia sadar ada Pencipta di atasnya.
Amanah (moral): manusia memikul tanggung jawab etis terhadap alam dan sesama.
‘Imran (sosial-ekologis): manusia membangun peradaban yang memakmurkan, bukan merusak.
Berbeda dengan Homo Deus yang ingin mendominasi alam, Homo Fitrah ingin bersahabat dengan alam.Berbeda dengan Dataisme yang "menyembah" algoritma, Fitrahisme menempatkan data sebagai alat untuk keadilan.Berbeda dengan sekularisme yang meniadakan Tuhan, Fitrahisme menegaskan bahwa kemajuan sejati hanya berarti jika disertai hikmah dan adab.
QS Ar-Rum: 30 menjelaskan, “Hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.”
Ayat ini adalah “antitesis” sempurna bagi narasi transhumanisme. Karena jika manusia berusaha mengubah kodrat fitrahnya --baik melalui genetik, moral, maupun spiritual -- maka ia sedang menggali lubang kehancuran.
Sejarah menunjukkan, peradaban yang kehilangan fitrah akan kehilangan keseimbangan: dari Babel, Romawi, hingga dunia modern yang dipenuhi krisis mental, kesenjangan, dan kehampaan makna.
Mengapa Fitrah Adalah Jalan Sains yang Sehat
Sains tidak harus dimusuhi. Islam tidak anti-ilmu. Namun sains harus tunduk pada nilai adab dan tauhid. Fitrah bukan penghambat penelitian, justru pembimbing agar ilmu tidak tersesat.
Misalnya, bioengineering boleh dilakukan untuk menyembuhkan, tapi bukan untuk mengubah hakikat manusia. AI boleh diciptakan untuk membantu, tapi bukan menggantikan keputusan moral.Teknologi boleh berkembang, tapi tetap berada di bawah panduan etika wahyu.
Fitrah memandang bahwa akal adalah wasilah, bukan pengganti wahyu.Ketika akal tanpa iman, ia menciptakan robot pembunuh, propaganda digital, dan monopoli
data.Tapi ketika akal dituntun iman, ia menciptakan rahmat -- seperti ketika Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Biruni meneliti alam sebagai tanda kekuasaan Allah.
Maka Homo Fitrah bukan manusia yang menolak teknologi, melainkan manusia yang menempatkannya dalam kerangka amanah.Ia bukan menolak algoritma, tapi menjadikannya bagian dari ibadah.Karena bagi Homo Fitrah, sains adalah ayat, bukan berhala.
Harari dan Kehampaan Spiritual Zaman
Harari dikenal ateis dan homoseksual. Kehidupannya adalah representasi manusia modern yang cerdas, rasional, tapi kehilangan arah spiritual. Maka wajar jika teori-teorinya memandang manusia semata sebagai organisme kompleks tanpa ruh.
Ia menulis: “Life is just algorithms and biochemistry.”
Kalimat itu adalah ringkasan dari krisis spiritual modern. Jika kehidupan hanya algoritma, maka cinta hanyalah ilusi kimia. Jika jiwa hanyalah reaksi neuron, maka tidak ada lagi surga, tidak ada lagi neraka, tidak ada lagi tanggung jawab moral.
Namun manusia, bahkan Harari sekalipun, tidak bisa menafikan fitrah batinnya.Sebab dalam setiap kesepian, manusia tetap mencari makna.Dalam setiap pencapaian ilmiah, manusia tetap merasa kecil di hadapan misteri.Dalam setiap ketakutan akan kematian, manusia tetap bertanya: “akan kemana kita setelah ini"?
Fitrah adalah suara batin itu -- panggilan untuk pulang.Ia tidak bisa ditindas oleh teknologi, tidak bisa disubstitusi oleh AI. Karena ia adalah “sinyal abadi” dari Sang Pencipta.
Dari Homo Deus ke Homo Fitrah
Harari mewakili satu arus besar pemikiran global: deifikasi manusia dan sekularisasi moral. Namun jawaban fitrah lebih tua, lebih lembut, dan lebih maknawi: manusia bukan Tuhan, manusia adalah khalifah fil ardh (pemakmur, pengelola bumi).Kita bukan pencipta algoritma kehidupan, tapi penjaga harmoni kehidupan.
Maka ketika Harari berkata, “Data is the new god,” fitrah menjawab, “Tuhan tidak pernah bisa digantikan, bahkan oleh data.”
Ketika Harari berkata, “Manusia akan menjadi dewa", fitrah menjawab, “manusia akan hancur jika melupakan bahwa ia hanyalah hamba".
Dan ketika Harari berkata, “Sebagian manusia akan menjadi useless",fitrah menjawab, “tidak ada yang sia-sia di sisi Allah".Bahkan sebutir pasir pun punya tujuan, apalagi manusia yang ditiupkan ruh.
Epilog: Manifesto Fitrah untuk Dunia Modern.
Dunia boleh berubah, tapi fitrah tak pernah usang.
Ilmu boleh naik ke langit, tapi adab tetap berakar di bumi.
Manusia bisa mengedit gen, tapi tak bisa mengedit nurani.
Karena di balik semua teknologi dan teori, masih ada satu hukum abadi: Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.
Dari Allah kita datang, dan kepada-Nya kita kembali.
Inilah jawaban fitrah kepada Harari, bahwa kemajuan tanpa iman adalah kehancuran yang terbungkus indah, dan hanya dengan kembali ke fitrah, manusia dapat menjadi benar-benar manusia.