Guru Besar FKUI menyoroti kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan layanan kesehatan. (Foto: Okezone.com/Aje)
JAKARTA – Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyoroti kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan layanan kesehatan yang dinilai dapat mengancam mutu serta keselamatan publik. Isu ini menjadi pembahasan dalam pertemuan 258 Guru Besar FKUI.
Ketua Dewan Guru Besar UI, Prof. Siti Setiati, menegaskan bahwa perubahan kebijakan di sektor pendidikan kesehatan yang tidak melibatkan para ahli dan akademisi berisiko menurunkan kualitas pendidikan dokter dan layanan kesehatan nasional.
“Kami sangat merasa resah dan gelisah. Mau dibawa ke mana mutu kedokteran kita? Mau dibawa ke mana pelayanan kesehatan kepada masyarakat?” ujar Prof. Siti, Jumat (16/5/2025).
Ia menilai keputusan pemerintah dalam merumuskan kebijakan tanpa melibatkan akademisi dan tanpa didasari bukti atau kajian mendalam adalah langkah yang berisiko.
Menurutnya, kebijakan semacam ini dapat mengorbankan keselamatan pasien dan masa depan layanan kesehatan hanya demi pencapaian target politik jangka pendek.
“Negara ini tidak bisa dibangun hanya dengan satu tubuh. Harus ada dialog, komunikasi, dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan kaum intelektual di bidang kesehatan,” tegasnya.
Alasan Keprihatinan Dewan Guru Besar FKUI:
1. Pendidikan dokter dan dokter spesialis tidak dapat disederhanakan
Menjadi seorang dokter bukan sekadar menjalani pelatihan teknis, melainkan melalui proses pendidikan akademik yang panjang, ketat, bertahap sesuai filsafat kedokteran yang mendasari layanan kesehatan oleh seorang dokter. Pendidikan terbaik dilakukan di fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan yang menjalankan pelayanan dan penelitian sesuai standar global.
2. Penyelenggaraan pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran
Tanpa sinergi yang baik, kebijakan ini akan menimbulkan ketimpangan kualitas antar dokter, meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan medis, dan pada akhirnya merugikan pasien dan masyarakat luas.
3. Pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan mengancam ekosistem pendidikan kedokteran
Selama ini, dosen yang juga berpraktik sebagai dokter di rumah sakit pendidikan menjalankan peran layanan, pengajaran, dan riset secara terpadu. Pemisahan peran ini akan merusak sistem yang sudah berjalan dengan baik dan menurunkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa kedokteran dan dokter muda.
4. Pelayanan kesehatan yang baik hanya dapat diberikan oleh tenaga medis yang dididik dengan standar tinggi
Apabila mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis diturunkan, maka kualitas pelayanan kesehatan akan ikut menurun. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, prevalensi stunting, kasus TB, serta penyakit tidak menular. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.
5. Koordinasi restrukturisasi dengan institusi pendidikan setelah penetapan RS Pendidikan Utama
Ketika RS Vertikal sudah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama oleh Kemenkes, maka perubahan struktur termasuk pembentukan Departemen dan mutasi staf medis yang ada harus dikoordinasikan dengan pimpinan institusi pendidikan.
6. Kolegium kedokteran harus dijaga independensinya untuk melindungi mutu dan kompetensi profesi.
Kolegium sebagai lembaga profesi bertanggung jawab menjaga standar kompetensi dan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia. Kolegium harus tetap mandiri dan bebas dari intervensi kebijakan yang tidak berbasis akademik maupun kepentingan jangka pendek. Jika peran kolegium dilemahkan, maka akan terjadi degradasi kualitas tenaga medis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran di negeri sendiri.