Bursa saham Asia bergerak variatif pada Senin (30/12/2024) seiring imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) yang tinggi menekan valuasi saham Wall Street.
Bursa Saham Asia Bergerak Beragam di Penghujung 2024. (Foto: Reuters)
IDXChannel – Bursa saham Asia bergerak variatif pada Senin (30/12/2024) seiring imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) yang tinggi menekan valuasi saham Wall Street.
Sementara, dolar AS tetap bertahan di dekat level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.
Indeks saham Asia-Pasifik di luar Jepang turun 0,2 persen, meskipun masih mencatat kenaikan 16 persen sepanjang tahun ini.
Indeks Nikkei Jepang juga melemah 0,54 persen, tetapi tetap mencatat kenaikan 20 persen untuk 2024.
Sebaliknya, indeks utama Korea Selatan (KOSPI) mengalami tekanan akibat ketidakpastian politik dalam beberapa pekan terakhir, dengan penurunan lebih dari 9 persen sepanjang tahun. Indeks tersebut menguat 0,68 persen pada Senin.
Lebih lanjut, indeks Hang Seng Hong Kong melemah 0,15 persen dan ASX 200 Australia terdepresiasi 0,57 persen.
Kemudian, Shanghai Composite tumbuh 0,15 persen, CSI 300 China naik 0,41 persen, dan STI Index Singapura mendaki 0,18 persen.
Kontrak berjangka (futures S&P 500 dan Nasdaq masing-masing turun 0,1 persen.
Wall Street mengalami aksi jual yang meluas pada Jumat pekan lalu tanpa pemicu yang jelas, meskipun volume perdagangan hanya mencapai dua pertiga dari rata-rata harian.
Meski begitu, S&P 500 masih mencatat kenaikan 25 persen tahun ini, sementara Nasdaq naik 31 persen, yang menempatkan valuasi saham pada level tinggi dibandingkan dengan imbal hasil bebas risiko dari obligasi pemerintah AS.
Aktivitas perdagangan masih sepi menjelang libur Tahun Baru 2025, dengan agenda data ekonomi yang minim pekan ini. China dijadwalkan merilis survei PMI manufaktur pada Selasa, sementara AS akan merilis survei ISM untuk Desember pada Jumat.
Investor memproyeksikan pertumbuhan laba per saham sebesar 10 persen pada 2025, lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan 12,47 persen yang diperkirakan pada 2024, menurut data LSEG.
Namun, imbal hasil obligasi 10 tahun AS mendekati level tertinggi delapan bulan di 4,631 persen dan diperkirakan mengakhiri tahun sekitar 75 basis poin lebih tinggi dibandingkan awal tahun, meskipun Federal Reserve (The Fed) telah memangkas suku bunga acuan sebesar 100 basis poin.
"Kenaikan imbal hasil obligasi yang terus berlanjut, didorong oleh penyesuaian ekspektasi terhadap kebijakan moneter yang kurang ketat, menimbulkan kekhawatiran," ujar analis strategi di broker Pepperstone Quasar Elizundia.
"Kemungkinan bahwa The Fed akan mempertahankan kebijakan moneter ketat lebih lama dari yang diperkirakan dapat membatasi pertumbuhan laba korporasi pada 2025, yang pada akhirnya memengaruhi keputusan investasi."
Investor obligasi juga mungkin waspada terhadap pasokan yang semakin meningkat karena Presiden terpilih Donald Trump menjanjikan pemotongan pajak tanpa memberikan rencana konkret untuk mengendalikan defisit anggaran.
Trump diperkirakan mengeluarkan setidaknya 25 perintah eksekutif saat dilantik pada 20 Januari mendatang, mencakup berbagai isu mulai dari imigrasi hingga kebijakan energi dan kripto.
Selisih suku bunga yang semakin melebar telah mempertahankan permintaan terhadap dolar AS, yang mencatat kenaikan 6,5 persen sepanjang tahun terhadap sekeranjang mata uang utama (DXY). (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.