Bursa saham Asia melemah pada awal pekan, Senin (19/5/2025), setelah rilis data ekonomi China yang bervariasi menunjukkan lemahnya aktivitas domestik.
Bursa Asia Melemah, Pasar Cermati Data Ekonomi China. (Foto: Freepik)
IDXChannel – Bursa saham Asia melemah pada awal pekan, Senin (19/5/2025), setelah rilis data ekonomi China yang bervariasi menunjukkan lemahnya aktivitas domestik, sementara tarif dari Amerika Serikat (AS) mulai menekan kinerja ekspor.
Di sisi lain, Gedung Putih terus meningkatkan tekanan retoris terhadap mitra dagang utamanya.
Di pasar Asia, indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang turun 0,2 persen, sementara indeks Nikkei Jepang merosot 0,35 persen.
Saham unggulan China (CSI 300) turun 0,40 persen setelah penjualan ritel bulan April meleset dari ekspektasi, meskipun perlambatan produksi industri tidak separah yang dikhawatirkan.
Indeks Kospi Korea Selatan juga tergerus 0,72 persen, Hang Seng Hong Kong terdepresiasi 0,40 persen, dan ASX 200 Australia berkurang 0,16 persen.
Untuk bursa Eropa, futures EUROSTOXX 50 naik tipis 0,1 persen, FTSE futures melemah 0,1 persen, dan DAX futures nyaris stagnan.
Futures S&P 500 turun 0,8 persen dan Nasdaq futures turun 1,1 persen, meskipun sebelumnya kedua indeks mencatat reli besar usai keputusan Presiden Donald Trump untuk menurunkan tarif atas China.
Futures saham AS dan nilai tukar dolar turut melemah, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS justru naik.
Kenaikan imbal hasil ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan ekonomi AS, terutama setelah lembaga pemeringkat Moody’s memangkas peringkat kredit negara tersebut.
Mengutip Reuters, Senin (19/5), kekhawatiran soal utang AS yang telah mencapai USD36 triliun juga meningkat, seiring upaya Partai Republik mendorong paket pemotongan pajak besar-besaran. Paket ini diperkirakan dapat menambah beban utang baru antara USD3 triliun hingga USD5 triliun dalam sepuluh tahun ke depan.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent, dalam wawancara televisi pada Minggu, berupaya meredakan kekhawatiran pasar dengan menepis dampak penurunan peringkat kredit.
Namun, ia juga memperingatkan, mitra dagang akan menghadapi tarif maksimum jika tidak menawarkan kesepakatan yang dianggap "beritikad baik".
Bessent dijadwalkan menghadiri pertemuan G7 pekan ini untuk melanjutkan pembahasan. Sementara itu, Wakil Presiden AS JD Vance dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen bertemu pada Minggu untuk membahas isu perdagangan.
“Masih harus dilihat apakah tarif timbal balik sebesar 10 persen — di luar Kanada dan Meksiko — akan bertahan, atau justru naik atau turun tergantung negara,” kata Ekonom JPMorgan Michael Feroli. Ia memperkirakan tarif efektif saat ini sekitar 13 persen, setara dengan kenaikan pajak sebesar 1,2 persen terhadap PDB.
“Selain dampak langsung dari tarif yang lebih tinggi, ketidakpastian kebijakan juga dapat membebani pertumbuhan ekonomi,” ujar Feroli.
Perang tarif telah menekan sentimen konsumen, dan laporan keuangan dari Home Depot serta Target yang akan dirilis pekan ini menjadi sorotan untuk mengukur tren belanja masyarakat.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik 5 basis poin ke level 4,49 persen, melanjutkan pembalikan arah yang terjadi Jumat lalu pasca pengumuman Moody’s.
Pasar kini hanya memperkirakan pemangkasan suku bunga Fderal Reserve (The Fed) sebesar 53 basis poin tahun ini, turun dari lebih 100 basis poin yang diproyeksikan sebulan lalu.
Peluang pemangkasan suku bunga pada Juli hanya 33 persen, namun meningkat menjadi 72 persen untuk September.
Sejumlah pejabat The Fed dijadwalkan berbicara pekan ini, termasuk Presiden The Fed New York John Williams dan Wakil Ketua Philip Jefferson pada Senin. Ketua The Fed Jerome Powell juga dijadwalkan memberikan pidato pada Minggu. (Aldo Fernando)