Bursa saham Asia bergerak beragam pada Senin (10/2/2025).
Bursa Asia Beragam, Pasar Amati Potensi Tarif Baru AS. (Foto: Reuters)
IDXChannel - Bursa saham Asia bergerak beragam pada Senin (10/2/2025), setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperingatkan akan mengenakan tarif tambahan, termasuk pada baja dan aluminium.
Langkah ini berpotensi mendorong inflasi dan membatasi ruang bagi penurunan suku bunga lebih lanjut.
Menurut data pasar, hingga 09.51 WIB, Indeks Nikkei Jepang turun 0,11 persen dan Topix Jepang merosot 0,27 persen.
Sementara KOSPI Korea Selatan menguat 0,17 persen.
Indeks saham unggulan China relatif stagnan, dengan kekhawatiran deflasi mereda setelah data menunjukkan inflasi konsumen pada Januari mencapai level tertinggi dalam lima bulan.
Namun, Hang Seng Hong Kong terkerek 1,56 persen. Demikian pula, STI Index Singapura tumbuh 0,63 persen.
Kontrak berjangka (futures) Wall Street sempat turun di awal sesi, tetapi kemudian menguat seiring fokus investor beralih ke laporan keuangan mingguan. Futures S&P 500 naik 0,2 persen, sementara Nasdaq bertambah 0,3 persen.
Pasar saham sempat tertekan oleh laporan keuangan yang beragam pekan lalu, meskipun pertumbuhan laba per saham sejauh ini mencapai 12 persen, melampaui ekspektasi awal sebesar 8 persen.
Berbicara kepada wartawan di Air Force One, Trump menyatakan akan mengumumkan tarif 25 persen untuk seluruh impor baja dan aluminium ke AS pada Senin, diikuti dengan pengenaan tarif timbal balik lainnya pada Selasa atau Rabu.
Pernyataan ini muncul tak lama setelah Kanselir Jerman Olaf Scholz menegaskan bahwa Uni Eropa siap merespons dalam waktu satu jam jika AS menerapkan tarif terhadap produk Eropa, menyoroti risiko meningkatnya perang dagang.
Sementara itu, tarif balasan dari China terhadap beberapa ekspor AS mulai berlaku pada Senin, tanpa tanda-tanda kemajuan dalam negosiasi antara Beijing dan Washington.
"Ini bisa menjadi alat negosiasi strategis Presiden Trump atau awal dari perang dagang berkepanjangan," kata Kepala Franklin Templeton Institute, Stephen Dover.
Hampir setengah dari impor AS digunakan sebagai bahan baku bagi perusahaan domestik, sehingga bisnis harus memilih antara menaikkan harga bagi konsumen, menerima margin keuntungan yang lebih kecil, atau menyesuaikan rantai pasokan mereka.
Mata uang negara-negara yang menjadi target tarif Trump diperkirakan melemah terhadap dolar AS untuk mengimbangi dampak pajak tersebut dan menjaga daya saing ekspor mereka.
Tarif ini juga berpotensi mendorong inflasi di AS, yang semakin mempersempit ruang bagi Federal Reserve (The Fed) untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Ekspektasi pemangkasan suku bunga di 2025 telah berkurang dari 42 basis poin menjadi 36 basis poin setelah laporan ketenagakerjaan yang kuat pada Jumat lalu.
Ketua The Fed Jerome Powell dijadwalkan berbicara di hadapan DPR AS pada Selasa dan Rabu, dengan kebijakan tarif kemungkinan menjadi isu utama.
Kesaksian Powell pada Rabu juga akan menyusul rilis data inflasi konsumen untuk Januari, yang dapat memberikan petunjuk awal mengenai tekanan harga, terutama setelah sejumlah perusahaan mengindikasikan kenaikan harga sebagai respons terhadap tarif.
Survei konsumen yang dirilis Jumat menunjukkan lonjakan ekspektasi inflasi untuk tahun mendatang, meskipun proyeksi jangka panjang tetap stabil. Para investor merespons dengan mendorong penguatan dolar, dengan indeks DXY bertahan di 108,38.
"Tarif menjadi risiko utama terhadap proyeksi laba per saham 2025," kata analis Goldman Sachs.
Mereka memperkirakan tarif efektif AS naik lima poin persentase, yang dapat memangkas laba per saham sebesar 1 hingga 2 persen.
"Ketidakpastian kebijakan yang meningkat menambah risiko terhadap valuasi karena meningkatkan premi risiko ekuitas dan menekan nilai wajar saham," ujar mereka.
Ketakutan akan inflasi yang lebih tinggi juga menekan pasar obligasi AS. Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik menjadi 4,495 persen dari posisi terendah pekan lalu di 4,400 persen. (Aldo Fernando)