Harga minyak mentah menguat pada pekan lalu di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik.
Harga Minyak Rebound karena Geopolitik, Tren Mingguan Belum Kuat. (Foto: Freepik)
IDXChannel - Harga minyak mentah menguat pada pekan lalu di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, meskipun prospek jangka panjangnya masih dibayangi pelemahan fundamental.
Menurut analisis FX Empire, Jumat (18/4/2025), ketidakpastian akibat kebijakan, gangguan pasokan, atau sanksi mendadak masih berpotensi memicu reli harga dalam jangka pendek, kendati lembaga-lembaga global terus memangkas proyeksi permintaan dan memperingatkan potensi surplus pasokan.
Kontrak berjangka minyak mentah jenis Light Crude (WTI) ditutup di level USD64,01, naik USD3,15 atau 5,18 persen dalam sepekan lalu.
Eskalasi tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China memukul kepercayaan makroekonomi dan mendorong revisi tajam terhadap pertumbuhan permintaan minyak.
Badan Informasi Energi AS (EIA) memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan global pada 2025 menjadi hanya 900.000 barel per hari (bph), sementara Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan pertumbuhan hanya 730.000 bph—laju paling lemah sejak 2019 di luar masa pandemi.
Penurunan ini mencerminkan dampak perang dagang, melambatnya aktivitas industri di Asia, dan lemahnya konsumsi di AS.
Namun, bagi pelaku pasar, terutama para trader, prospek jangka panjang ini tidak menutup peluang fluktuasi harga dalam jangka pendek. Jika AS melonggarkan tarif atau China mengumumkan stimulus ekonomi, sentimen permintaan bisa pulih dengan cepat—meskipun bersifat sementara.
Pasokan vs Permintaan: Siapa Unggul?
Dari sisi pasokan, OPEC+ berencana menambah produksi mulai Mei, meski telah memangkas proyeksi permintaan. Harga Brent turun 13 persen bulan ini dan kini berada di sekitar USD64 per barel.
EIA memproyeksikan harga Brent tahun 2025 di USD67,87, dan bahkan lebih rendah di 2026. Namun, jika muncul risiko pasokan—misalnya pengetatan sanksi terhadap Iran atau gangguan infrastruktur Rusia—kapasitas cadangan bisa cepat terpakai.
Produsen shale AS masih bersikap hati-hati. Jumlah rig turun 5 persen dibanding tahun lalu, tetapi produksi tetap diperkirakan naik menjadi 13,5 juta bph pada 2025. Kenaikan ini lebih karena efisiensi, bukan ekspansi agresif.
Sementara OPEC+ akan menambah pasokan, dampak riilnya tergantung kepatuhan anggota. Kazakhstan kerap melebihi kuota, menimbulkan kekhawatiran soal disiplin internal. Jika negara lain ikut, potensi penumpukan inventori bisa meningkat. Sebaliknya, sinyal penundaan dari OPEC+ bisa langsung mengetatkan pasar, terutama jika permintaan stabil.
Reli Taktis dalam Struktur Pasar Bearish
Secara struktural, pasar masih cenderung bearish: lemahnya permintaan, pasokan berlebih, dan proyeksi harga yang lunak menciptakan tantangan dalam beberapa kuartal ke depan. Namun secara taktis, pelaku pasar perlu waspada: pelonggaran tarif, lonjakan permintaan dari China, atau gejolak geopolitik bisa memicu reli jangka pendek.
Secara teknikal, harga minyak WTI sempat menyentuh titik terendah tahun ini di USD54,48 sebelum melonjak ke USD64,01, menguat 5,18 persen dalam sepekan. Kenaikan tajam ini membangkitkan harapan bahwa tekanan jual ekstrem mulai mereda. Grafik mingguan menunjukkan pola candlestick bullish engulfing, sering kali menandakan potensi pembalikan tren.
Namun tantangan tetap ada. Harga masih di bawah rata-rata pergerakan 52 minggu (SMA) di kisaran USD69,25. Artinya, tren menengah masih dianggap netral hingga lemah.
Jika harga berhasil menembus dan bertahan di atas USD68,67–USD69,25, peluang menuju USD71,64 hingga USD78,50 terbuka kembali. Sebaliknya, jika harga gagal bertahan dan turun di bawah USD63, potensi penurunan ke USD58,67 hingga USD54,48 kembali menghantui.
Singkatnya, meski proyeksi harga hingga pertengahan 2025 cenderung moderat, pasar minyak masih jauh dari kata satu arah. Perpaduan tekanan makro dan risiko geopolitik menjadikannya ladang menarik bagi strategi taktis—terutama bagi trader yang cekatan dan jeli membaca peta politik global. (Aldo Fernando)