Jakarta -
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memasang tarif masuk yang sangat tinggi untuk semua produk impor asal China, yakni 104%. Tarif ini rencananya akan berlaku Rabu (9/4) dini hari waktu setempat.
Melansir dari Reuters, Rabu (9/4/2025), pengenaan tarif masuk sebesar 104% atas barang-barang asal China dilakukan Trump sebagai tanggapan atas tarif balasan yang diumumkan Beijing minggu lalu.
Masalahnya kondisi ini meningkatkan kekhawatiran akan resesi, serta runtuhnya tatanan perdagangan global yang sudah terbentuk selama beberapa dekade terakhir. Kondisi ini akhirnya menekan pasar saham AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal pasar saham Negeri Paman Sam ini tercatat sudah mengalami pelemahan selama empat hari berturut-turut imbas kebijakan tarif Trump terhadap ratusan negara.
Sebut saja indeks S&P 500 yang ditutup di bawah 5.000 pada perdagangan Selasa (8/4) kemarin. Sehingga dalam empat hari terakhir indeks tersebut sudah turun 18,9% jika dibandingkan dengan level tertinggi terbarunya pada 19 Februari 2024.
Tidak berhenti di sana, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 telah kehilangan nilai pasar saham sebesar US$ 5,8 triliun atau Rp 98.402,8 triliun (kurs Rp 16.966/dolar AS). Ini merupakan kerugian terbesar dalam empat hari sejak indeks tersebut diluncurkan pada 1950-an.
Selain itu, imbas pengenaan tarif 104% terhadap China ini turut membuat Nikkei Jepang mengalami aksi jual besar-besaran pada Rabu (9/4) pagi tadi. Kemudian pasar Asia lainnya juga siap-siap melemah, beberapa jam sebelum tarif tersebut diberlakukan.
Meski begitu, sejumlah pejabat pemerintahan Trump mengatakan mereka tidak akan memprioritaskan negosiasi dengan China. Sebab saat ini mereka sudah diminta untuk fokus pada negosiasi dengan sekutu dan mitra dagang AS selama ini.
"Saat ini, kami telah menerima instruksi untuk memprioritaskan sekutu dan mitra dagang kami seperti Jepang dan Korea dan lainnya," kata penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett di Fox News.
"Pendekatan khusus Trump terhadap negosiasi dengan masing-masing negara dapat mempertimbangkan bantuan asing dan militer serta faktor ekonomi," kata juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt.
(igo/fdl)