terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan bioethanol sebagai sumber energi nabati.
Tetapkan Bioethanol Sebagai PSN, Pemerintah Diminta Segera Lakukan Ini
IDXChannel - Kebijakan pemerintah yang telah menetapkan bioethanol sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dinilai memiliki implikasi yang harus ditindaklanjuti di level teknis.
Di antaranya, pemerintah diminta untuk lebih fokus dalam mendorong pengembangan bioethanol di dalam negeri, termasuk bersedia melakukan intervensi di bidang bahan baku.
"Dengan statusnya sebagai PSN, bioethanol sebagai opsi BBN (bahan bakar nabati) di dalam negeri, maka perlu ada perlu ada keseriusan pemerintah. Hal yang utama adalah melakukan intervensi pengadaan feedstock (bahan baku)," ujar Direktur Eksektif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dalam keterangan resminya, Minggu (26/1/2025).
Menurut Fabby, kesungguhan pemerintah sangat dibutuhkan karena terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan bioethanol sebagai sumber energi nabati.
Tantangan pertama, dikatakan Fabby, yaitu sangat terbatasnya ketersediaan tanaman sumber bahan baku bioethanol di Indonesia, jika dibandingkan kelapa sawit.
Dengan kondisi tersebut, maka pengembangan biodiesel B40 relatif lebih mudah dan cepat, karena tinggal menghitung, berapa banyak untuk BBN dan berapa yang untuk ekspor.
"Hal itulah yang membedakan dengan bioethanol. Ethanol dihasilkan dari tanaman juga seperti tebu, jagung, sorgum maupun singkong. Masalahnya, feedstock-nya tidak cukup," ujar Fabby.
Fabby menjelaskan, gula saat ini masih impor sedangkan untuk ethanol diambil molasenya juga tidak cukup dengan bahan baku yang ada.
Di lain pihak, tantangan kedua yaitu untuk menghasilkan ethanol dengan standar fuelgrade, disebut Fabby juga tidak mudah.
"Karena yang dibutuhkan adalah ethanol 99 persen dan untuk menghasilkan ethanol fuelgrade tetap membutuhkan intervensi Pemerintah," ujar Fabby.
Sedangkan tantangan ketiga, dalam pandangan Fabby, yaitu terkait harga. Fabby menilai bahwa harga ethanol di pasar internasional kemungkinan besar lebih tinggi dari harga minyak, karena ethanol juga menjadi bahan baku untuk industri dan pangan.
Sementara, lanjut Fabby, dalam pengembangan bioethanol, tidak ada keterlibatan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) seperti halnya pada biodiesel.
Pada biodiesel, jika harga FAME terlalu mahal, misalnya, maka subsidi bisa dihimpun dari badan tersebut, yang dihimpun dari pengusaha sawit.
"Karena itulah, jadi kalau tetap mau mengembangkan bioethanol dengan harga terjangkau, Pemerintah harus siap-siap (menggunakan APBN untuk subsidi)," ujar Fabby.
Dengan beragam pertimbangan tersebut, maka jika Indonesia tetap ingin mengembangkan bioethanol, Fabby menekankan pentingnya kesediaan pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap tiga tantangan tersebut, terutama pengadaan bahan baku yang masih sedikit.
Pandangan tersebut diamini oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara.
Dalam kesempatan terpisah, Marwan menyebut bahwa pemerintah harus serius dan terlibat aktif untuk mendorong pengembangan bioethanol, misalnya dengan mengerahkan potensi BUMN, keuangan sehingga bisa menyediakan bahan baku bioethanol dengan skala massal.
"Kita bisa atau tidak membangun lahan perkebunan singkong atau tebu yang luasannya bisa menghasilkan bahan mentah (ethanol) berharga murah," ujar Marwan.
Jika bahan baku bioethanol mengandalkan kebun singkong atau tebu, menurut Marwan, dari sisi produksi saat ini tidak akan bisa mengimbangi produksi CPO.
"Kecuali pemerintah memang mau intensif menanam singkong atau tebu dengan luas lahan jutaan hektar," ujar Marwan.
(taufan sukma)