Penurunan signifikan sejumlah saham utama (big cap) membebani Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga turun lebih dari satu persen.
Sederet Saham Big Cap Jadi Beban saat IHSG Turun Lebih dari 1 Persen. (Foto: Freepik)
IDXChannel – Penurunan signifikan sejumlah saham utama (big cap) membebani Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga turun lebih dari satu persen, tepatnya 1,65 persen, pada lanjutan sesi I, Kamis (6/2/2025).
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan, hingga pukul 11.01 WIB, saham bank BUMN PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) turun tajam 6,79 persen. Saham BMRI tergerus 16,60 persen dalam sepekan.
Saham bank pelat merah lainnya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) terdepresiasi 1,69 persen dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) memerah 4,00 persen.
Saham bank milik Grup Djarum, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), juga melemah, yakni sebesar 1,65 persen.
Selain kuartet bank raksasa di atas, saham emiten sejumlah konglomerat juga turut menjadi laggard atau pemberat. Sebut saja, emiten otomotif Grup Astra, ASII, yang melorot 3,16 persen, emiten properti milik taipan Aguan dan Grup Salim, PANI, berkurang 2,95 persen.
Nama lainnya, saham emiten geotermal milik orang terkaya di Indonesia, Prajogo Pangestu, BREN, melemah 1,13 persen dan emiten batu bara besutan Low Tuck Kwong, BYAN, turun 1,10 persen.
Saham emiten telekomunikasi BUMN, TLKM, juga terkena tekanan jual, minus 1,53 persen.
Penguatan dolar AS akibat ketidakpastian global semakin menekan pasar keuangan Indonesia. Tekanan ini tidak hanya berdampak pada nilai tukar rupiah, melainkan juga pada pasar obligasi dan saham.
Pengamat pasar modal, Michael Yeoh, menjelaskan lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi ini.
"Sentimen terhadap DXY [indeks dolar] saat ini terlalu kuat," ujar Michael saat dihubungi IDXChannel.com, Kamis (6/2/2025).
"Kebijakan trade war [perang dagang] terakhir yang diutarakan [Presiden AS] Donald Trump mendorong capital outflow dari global ke AS. Hal ini membuat dolar menguat,” katanya.
Michael menambahkan, rupiah pun terdampak, begitu juga dengan surat utang Indonesia yang terlihat melemah dengan imbal hasil (yield) turun ke 6,9 persen. Kondisi ini turut menekan pasar modal.
Yeoh melanjutkan, koreksi terdalam terjadi pada BMRI. “Hal ini menyusul dari downgrade [penurunan rating] yang dilakukan JPMorgan dari neutral ke underweight.”
Pertumbuhan Ekonomi
Soal kabar ekonomi makro teranyar, Samuel Sekuritas, dalam Daily Economic Insights, Kamis (6/2), menjelaskan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen pada 2024.
Menurut hemat Samuel, pertumbuhan ekonomi 5,03 tersebut menunjukkan stabilitas tetapi masih jauh dari target ambisius 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo.
Konsumsi yang lesu dan ketidakpastian global, kata Samuel Sekuritas, menekan kebijakan moneter, dengan potensi penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) pada 2025.
Investasi asing tetap kuat, dengan Qatar menggelontorkan USD20 miliar untuk perumahan dan Eramet memperluas rantai pasok kendaraan listrik.
Namun, mengutip Samuel, perubahan kebijakan kendaraan listrik (EV) di AS bisa membuat Indonesia semakin bergantung pada China.
Strategi Prabowo, termasuk kebijakan fiskal ketat dan pendekatan kepemimpinan bergaya militer, mencerminkan konsolidasi kekuasaan.
Masuknya Indonesia ke BRICS memberi peluang ekonomi baru, sementara hubungan yang semakin erat dengan Jepang dan Iran menandakan diversifikasi kemitraan.
Ke depan, ujar Samuel, kebijakan moneter, belanja infrastruktur, dan strategi transisi energi akan menjadi faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi 2025.
Senior Asia economist at Capital Economics, Gareth Leather, memperkirakan pertumbuhan melambat seiring dampak harga komoditas yang lebih rendah dan lemahnya permintaan global, meski suku bunga turun.
Aksi Balasan China
Sementara itu, pengumuman China soal tarif balasan terhadap Amerika Serikat (AS) kembali memicu kekhawatiran perang dagang. Analis Bank of Singapore menilai langkah ini masih memberi ruang bagi kesepakatan antara Washington dan Beijing untuk menghindari eskalasi yang lebih besar.
Di sisi lain, analis Maybank melihat tarif tambahan 10 persen ini sebagai langkah awal, dengan risiko pembicaraan menemui jalan buntu.
"Masih ada kemungkinan pembicaraan menemui jalan buntu, dan seperti yang pernah diancamkan Trump, ia bisa memilih untuk meningkatkan tarif dari tambahan 10 persen saat ini," ujar analis Maybank. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.