REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia sedang bersiap menyambut era baru bahan bakar hijau dengan target penerapan bensin campur etanol 10 persen (E10) secara nasional pada tahun 2027.
Di tengah ambisi mulia untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan menekan emisi, muncul pertanyaan krusial di benak jutaan pemilik kendaraan: Seberapa amankah bahan bakar bioenergi ini bagi mesin kendaraan yang mereka gunakan sehari-hari, dan apa yang harus dipersiapkan agar transisi energi ini berjalan lancar tanpa hambatan teknis maupun ekonomi?
Kekhawatiran tersebut coba dijawab dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan (PUSKEP) Universitas Indonesia di Kampus UI Salemba, Jumat (7/11). Para ahli sepakat bahwa E10 aman digunakan, asalkan ada jaminan konsistensi spesifikasi dan penerapan yang merata di semua jaringan stasiun pengisian bahan bakar.
Sekretaris Umum Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia), Kukuh Kumara, memberikan jaminan keamanan tersebut. Menurutnya, uji coba ekstensif telah dilakukan oleh Japan Automobile Manufacturers Association (JAMA) di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Indonesia. "Penerapan E10 aman bagi hampir semua kendaraan bermotor yang diproduksi mulai tahun 2000," tegas Kukuh, menepis keraguan pemilik mobil dan motor lawas.
Lebih lanjut, Kukuh mendorong pemerintah untuk segera merancang peta jalan (road map) yang jelas mengenai implementasi E10. Peta jalan ini krusial, tidak hanya untuk aspek teknis, tetapi juga untuk mendorong perekonomian nasional dan daerah. Mengingat bahan baku etanol berasal dari komoditas pertanian seperti singkong, jagung, tebu, dan sorgum, sinergi daerah mutlak diperlukan.
"Semua pihak perlu bersinergi dan mengutamakan keunggulan daerahnya, misalnya etanol di Jawa Timur dari tebu, di Lampung dengan singkong, dan seterusnya," urainya.
Dari sisi teknis, Peneliti senior PUSKEP UI di bidang bioenergi, Zarkoni Azis, memaparkan hasil pengujian menarik. Pencampuran bensin dengan bioetanol anhidrat (berkadar di atas 99,5 persen) terbukti dapat meningkatkan octane number menjadi 97,1. Ini mengindikasikan potensi peningkatan kualitas bahan bakar.
Meski demikian, Zarkoni menyarankan regulator untuk mengarahkan kebijakan pada penggunaan bioetanol hidrat (Hydrous Ethanol), yaitu bioetanol dengan kadar air sekitar 4-5 persen. Menurutnya, saat ini ada kecenderungan global beralih ke bioetanol hidrat untuk komponen gasohol E10-E100.
Alasannya cukup pragmatis. "Biaya produksi lebih murah, lebih ramah lingkungan karena energi untuk produksi bioetanol hidrat juga lebih hemat," jelas Zarkoni, menawarkan solusi yang lebih efisien dari segi ekonomi dan ekologi.
Terkait percepatan implementasi, Ketua PUSKEP UI Ali Ahmudi menekankan pentingnya pemerataan. Penerapan E10 yang direncanakan pada 2027 harus dilakukan di semua SPBU di tanah air, tidak hanya di jaringan Pertamina, tetapi juga di SPBU swasta.
Pemberlakuan yang serentak di semua SPBU ini sangat penting agar konsumen tidak bingung. Ini juga menjadi sinyal kuat bahwa semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, mendukung penuh program transisi energi dan berkomitmen mengurangi konsumsi energi fosil sesegera mungkin.
Diskusi mendalam yang dihadiri oleh jurnalis, mahasiswa, dan peneliti energi ini berlangsung di lantai 5 gedung IASTH (Institute for Advancement of Science Technology and Humanity) Kampus UI Salemba.
Acara dibuka oleh Mauren Lumban Toruan, Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan, dan Hendro Prabowo, Kepala Pranata Pembangunan Universitas Indonesia, menandai komitmen akademisi dalam mengawal kebijakan strategis energi nasional.
sumber : Antara
.png)
3 hours ago
4















































