REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menekankan pentingnya pendekatan komprehensif melalui kolaborasi semua pihak untuk melindungi anak-anak dari risiko keterlibatan dalam kerusuhan atau unjuk rasa.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, Menteri Arifah menjelaskan sejumlah upaya yang dapat dilakukan, mencakup penguatan literasi digital, pemberdayaan peran keluarga, penyediaan ruang ekspresi positif bagi remaja, serta kolaborasi lintas sektor untuk membangun sistem perlindungan anak yang menyeluruh.
"Setiap anak tanpa terkecuali berhak mendapatkan perlindungan, pembinaan, dan pendampingan yang layak," ujarnya dalam kegiatan diskusi kelompok terpumpun tentang "Penanganan Anak yang Terlibat Kerusuhan Saat Aksi Demonstrasi" di Jakarta.
Menurut dia, pendekatan komprehensif dan koordinasi kuat antar-kementerian dan lembaga mutlak diperlukan agar anak-anak dapat terlindungi dengan optimal.
Pihaknya telah mengunjungi Cirebon dan Surabaya, di mana keterlibatan anak dalam demonstrasi tercatat cukup tinggi. Rata-rata, anak-anak tersebut masih duduk di bangku SMP dan SMA dengan rasa ingin tahu yang besar.
“Ketika saya berdialog dengan anak-anak ini, rata-rata mereka tidak mengetahui bahwa demonstrasi itu akan berujung anarkis. Mereka hanya penasaran seperti apa demonstrasi itu, terpengaruh ajakan teman-teman dan informasi dari media sosial," jelas dia.
Penanganan terhadap anak-anak yang terlibat dalam kerusuhan dilakukan melalui koordinasi dan sinergi antara KemenPPPA dengan pemerintah daerah, serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di berbagai wilayah.
Pihaknya hadir untuk memastikan bahwa pendampingan terhadap anak yang terlibat dalam kerusuhan atau aksi demonstrasi diberikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing anak.
“Pendampingan ini mencakup psikoedukasi mengenai penyampaian aspirasi secara positif, pendampingan proses pemulangan anak kepada keluarga masing-masing, serta penyediaan layanan konseling lanjutan jika diperlukan," katanya.
Selain itu, pendampingan proses diversi dan pemenuhan hak pendidikan anak selama proses hukum, termasuk bagi anak yang tercatat putus sekolah, juga telah dilaksanakan.
Dalam keterangan yang sama, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Irjen Pol Nunung Syaifuddin, menyampaikan bahwa berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) Bareskrim, tercatat 332 anak terlibat dalam kasus kerusuhan di 11 Polda di Indonesia.
Angka tertinggi berada di Jawa Timur dengan 144 anak, disusul Jawa Tengah 77 anak, dan Jawa Barat 34 anak. Sisanya berasal dari Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bali, dan Sumatera Selatan.
Dari total 332 anak tersebut, 160 anak telah menjalani diversi, 37 anak ditangani dengan pendekatan restorative justice, 28 anak berada pada pemberkasan tahap 1, 73 anak pada tahap 2, dan 34 anak sudah mencapai P21.
”FGD (Focus Group Discussion) ini menjadi momentum penting untuk menyatukan langkah kita, membangun peta jalan nasional dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan semangat melindungi tanpa melemahkan penegak hukum, serta menegakkan hukum tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan," ujarnya.
Ia berharap forum tersebut dapat melahirkan satu rumusan kebijakan lintas sektoral dalam penanganan anak bermasalah hukum yang terlibat dalam aksi sosial dan unjuk rasa.
sumber : Antara
.png)
2 hours ago
2













































