Kebijakan Ekonomi AS Picu Ketidakpastian Pasar, Begini Dampaknya Menurut Analis

4 weeks ago 20

yang perlu menjadi perhatian Bank Indonesia adalah keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas nilai tukar.

MNC media)

Kebijakan Ekonomi AS Picu Ketidakpastian Pasar, Begini Dampaknya Menurut Analis (foto:MNC media)

IDXChannel - Kebijakan tarif impor yang baru saja ditetapkan oleh Amerika Serikat (AS) dinilai telah memicu ketidakpastian pasar, sehingga berdampak signifikan terhadap perekonomian global.

Dampak tersebut, di antaranya, nampak jelas terlihat dari menguatnya Indeks Dolar AS secara signifikan, bahkan sempat mencapai level 109,86. Akibat dari kondisi tersebut, nilai tukar rupiah juga sempat terdepresiasi ke level 16.483, meski kini telah berhasil kembali menguat ke level 16.371.

"Penguatan kembali (rupiah) terjadi seiring dengan melandainya Indeks Dolar AS usai munculnya pernyataan bahwa pemberlakuan tarif tersebut ditunda," ujar Ekonom dari PT KISI Asset Management, Arfian Prasetya Aji, dalam keterangan resminya, Senin (17/2/2025).

Menurut Arfian, Inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) AS pada Desember 2024 tercatat sebesar 2,6 persen secara tahunan (year on year/YoY. Capaian tersebut dinilai Arfian sesuai dengan perkiraan para pelaku pasar.

Sementara, pada saat yang sama, Inflasi inti (Core PCE), yang tidak termasuk komponen makanan dan energi yang volatile, tercatat 2,8 persen (YoY). Hal ini menunjukkan bahwa tekanan inflasi di AS relatif masih cukup tinggi. Di sisi lain, inflasi domestik Indonesia pada Januari 2025 tercatat pada level terendah dalam 25 tahun terakhir, yaitu sebesar 0,76 persen (YoY).

"Lalu apakah inflasi yang sesungguhnya memang benar serendah ini? Bila kita cermati lebih lanjut, inflasi inti, yang merepresentasikan kondisi inflasi sesungguhnya, rupanya masih tumbuh, tercatat plus 2,36 persen YoY," ujar Arfian.

Sedangkan penyebab inflasi secara umum sangat rendah, menurut Arfian, adalah terletak pada komponen harga yang diatur pemerintah yang mengalami deflasi, yaitu sebesar 6,41 persen (YoY).

Dalam hal ini, Arfian menjelaskan, program diskon tarif listrik yang digagas oleh pemerintah turut berkontribusi besar terhadap capaian deflasi tersebut. 

Di lain pihak, Arfian juga mengungkap bahwa Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia pada Januari 2025 tercatat sebesar 51,9, meningkat dari capaian bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 51,2.

Hal ini disebut Arfian menandakan adanya pertumbuhan aktivitas pabrik yang berlanjut untuk bulan kedua berturut-turut, serta merupakan laju tercepat sejak Mei 2024.

"Pesanan baru terus tumbuh, didorong oleh permintaan asing yang meningkat. Biaya output juga tercatat moderat, berada pada level terendah dalam tiga bulan terakhir," ujar Arfian.

Peningkatan PMI ini, dalam pandangan Arfian, dapat menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dalam hal peningkatan produksi dan pembelian bahan baku. Dengan adanya peningkatan aktivitas produksi, diharapkan akan ada peningkatan perekrutan tenaga kerja yang dapat memperbaiki tingkat lapangan pekerjaan di Indonesia.

Sedangkan, terkait dampak kebijakan AS terhadap perekonomian global dan Indonesia secara keseluruhan, Arfian menilai bahwa tarif impor yang diterapkan AS terhadap Kanada, Meksiko, dan China dapat memperburuk ketidakpastian ekonomi global serta dapat memengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed.

Dengan adanya tarif impor dapat meningkatkan harga barang yang masuk ke AS karena perusahaan harus membayar tarif tambahan untuk barang yang diimpor.

"Alhasil, biaya ini pada umumnya akan dibebankan ke konsumen dengan bentuk harga yang lebih tinggi sehingga dapat mendorong inflasi," ujar Arfian.

Sementara, meningkatnya inflasi di AS diyakini Arfian juga akan memperkecil ruang penurunan suku bunga The Fed, yang berimbas pada ekspektasi terhadap US Treasury Yield yang bakal tetap tinggi.

"Lalu dampaknya ke Indonesia adalah ruang pemangkasan suku bunga Bank Indonesia pun akan turut lebih terbatas, di lain sisi diperlukan pemangkasan lebih lanjut guna mendukung pertumbuhan ekonomi," ujar Arfian.

Selanjutnya, inflasi AS yang tinggi juga dinilai berpotensi bakal membuat The Fed tetap hawkish dalam kebijakan moneternya. Sebaliknya, inflasi Indonesia yang rendah memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk mengurangi suku bunga dan mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.

Namun, yang perlu menjadi perhatian Bank Indonesia adalah keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas nilai tukar. Nilai tukar akan cenderung tertekan ketika The Fed masih mempertahankan suku bunganya.

"Kenaikan PMI manufaktur Indonesia menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur mulai bangkit, yang diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi," ujar Arfian.

Dengan biaya output yang relatif rendah serta pesanan yang meningkat, dikatakan Arfian, Indonesia berpotensi mencatatkan pertumbuhan yang lebih baik pada kuartal ini.

Berdasarkan beragam analisa tersebut, Arfian pun menyimpulkan bahwa dinamika kebijakan ekonomi yang terjadi di AS memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar global, termasuk Indonesia.

Namun, dengan inflasi domestik yang rendah dan peningkatan sektor manufaktur, Indonesia memiliki kesempatan untuk terus memperkuat ekonomi meski di tengah ketidakpastian global.

"Pihak-pihak terkait di Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, diharapkan dapat memanfaatkan ruang moneter dan fiskal yang ada untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi di 2025," ujar Arfian.

(taufan sukma)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |