Jeritan di Balik Senyuman Sopir TransJogja: Gaji Kecil Risiko Besar, Ancaman Denda di Depan Mata

30 minutes ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Di balik ketepatan waktu dan keramahan layanan bus Trans Jogja, para pengemudi ternyata menyimpan kegelisahan yang semakin menumpuk. Beban kerja yang besar, risiko keselamatan di jalan, serta tanggung jawab membawa puluhan penumpang setiap hari ternyata tidak sebanding dengan nilai gaji yang mereka terima.

Keluhan itu disampaikan oleh pekerja Trans Jogja dari PT Jogja Tugu Trans (JTT) di Kantor DPRD DIY. Mereka mengadukan masalah yang mereka sebut sebagai ketidakadilan struktural dalam penggajian maupun kebijakan operasional.

Sekretaris Jenderal Serikat PT JTT, Agus Triyono, mengungkapkan selisih gaji antara pengemudi (pramudi) dan pramugara kini sangat kecil, hanya sekitar Rp13.000–Rp14.000 per shift, berbeda jauh dari selisih sebelumnya yang mencapai Rp30.000 berdasarkan SK Gubernur.

"Kami lihat itu tidak sesuai dengan tanggung jawab pengemudi yang lebih besar terhadap penumpang ataupun pengguna jalan lain. Jadi kami berusaha untuk selisihnya itu dibedakan antara pengemudi dengan pramugara," ujar Agus, Sabtu (22/11/2025).

Perubahan struktur gaji yang kini mengacu pada SK Dirjen sejak 2024 membuat aspirasi tersebut berulang kali kandas. Bahkan Agus mengatakan pembahasan dengan Dinas Perhubungan DIY dan pihak manajemen yang dilakukan disebut belum menghasilkan titik temu. Bagi para pengemudi, angka Rp14.000 itu lebih dari sekadar nominal. Itu simbol betapa kecilnya penghargaan bagi mereka yang memikul tanggung jawab sangat besar.

Jeritan para sopir tak berhenti di isu gaji. Mereka juga dibebani ancaman denda yang dinilai tidak manusiawi. Agus menyampaikan aturan kecepatan maksimal 60 km/jam kerap membuat pengemudi was-was, sebab sedikit saja melampaui batas, konsekuensinya berat. Mereka akan dikenai denda Rp500.000 dan harus dibayar dari kantong sendiri.

"Misalnya kita di ring road lari 61 km/jam aja 14 detik, itu sudah kena denda Rp 500.000 per satu kali pelanggaran. Dibayar sopirnya sendiri," kata Agus.

Bagi pengemudi dengan gaji pas-pasan kemudian denda setengah juta rupiah tidak manusiawi pasalnya mereka bisa kehilangan sebagian besar pendapatan bulanan. "Gaji kami sekitar empat juta. Kena satu denda saja tinggal separuh. Kalau lima kali bisa minus. Ini sangat memberatkan," ucapnya.

Selain ancaman denda, fasilitas kerja pun ikut dikeluhkan. Jumlah seragam yang diterima, lanjutnya, juga dipangkas, dari empat stel menjadi hanya dua. Sementara itu, kebijakan pengisian BBM di malam hari membuat pengemudi kerap terkatung-katung saat solar SPBU tak tersedia.

"Jadi, intinya kalau malam itu kebanyakan kehabisan untuk BBM. Jadi, kita mintanya siang hari, tapi tadi belum deal juga," ujar Agus.

Para pengemudi Trans Jogja berharap keluhan mereka bukan sekadar catatan di meja DPRD, tetapi menjadi awal perubahan. Mereka ingin penghargaan yang setimpal untuk kerja keras yang dilakukan setiap hari yakni mengantar warga Yogyakarta dengan aman, tepat waktu, dan penuh tanggung jawab.

Sementara itu, Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan DIY, Wulan Sapto Nugroho, berdalih aturan tersebut merupakan bagian dari Standar Pelayanan Minimal (SPM). Penerapan SPM harus dijalankan demi menjaga kualitas layanan publik. Ia menyebut denda efektif mengurangi pelanggaran menjadi hanya satu atau dua kasus per bulan.

"Kaitan denda itu kan, ya denda itu kita juga menjalankan SPM. Artinya segala sesuatu yang melanggar tentu ada konsekuensinya," ujarnya. 

Ketua DPRD DIY, Nuryadi yang memfasilitasi pertemuan antara serikat pekerja dan manajemen mengatakan banyak hal yang harus dibenahi. Pertemuan lanjutan pekan depan dijadwalkan untuk mengurai lebih jauh akar persoalan, termasuk struktur penggajian yang berubah dari Pergub menjadi SK Dirjen.

"Jadi perlu dibenahi, sehingga kita fasilitasi untuk itu kemajuannya banyak hanya belum sampai akhir wanting diteruskan hari Senin rapatnya di TransJogja untuk meneruskan diskusi ini," kata Nuryadi.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |