Mohammad Pandega Putra Arazy
Teknologi | 2025-11-13 13:59:02
Setiap kali membuka media sosial, kita disuguhi parade manusia digital: wajah disaring, opini diseragamkan, dan empati digantikan emoji. Dunia yang dulu dibangun atas dasar rasa kini bergeser ke algoritma. Kita hidup di era di mana notifikasi lebih cepat dari nurani, dan sentuhan layar lebih akrab daripada jabat tangan. Pertanyaannya, masihkah kita manusia dalam arti yang sesungguhnya?
Humanisme, dalam makna klasiknya, adalah pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai sebagai makhluk berakal budi, berperasaan, dan bermoral. Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi, nilai-nilai itu mulai terpinggirkan oleh efisiensi teknologi. Mesin bukan hanya membantu manusia, tapi perlahan meniru dan menggantikannya. Ironisnya, manusia justru ikut meniru mesin: cepat, kaku, dan kadang tanpa hati.
1. Teknologi dan Krisis Empati
Media sosial yang seharusnya memperluas komunikasi justru menipiskan sensitivitas. Kita menjadi terbiasa menatap tragedi kemanusiaan lewat layar tanpa jeda untuk merasa. Saat bencana terjadi, reaksi pertama sering bukan menolong, tapi mengunggah. Di era ini, empati berubah format menjadi “story berdurasi 15 detik.”
Bahkan dalam interaksi sehari-hari, manusia kini seperti kehilangan kehangatan eksistensial. Percakapan berubah menjadi obrolan daring singkat; perhatian berganti dengan ketukan ganda. Hubungan antarmanusia semakin virtual, bukan spiritual. Padahal, inti dari humanisme adalah kehadiran, hadir secara penuh, bukan sekadar online.
2. Algoritma Mengatur Nurani
Teknologi bekerja dengan logika, bukan etika. Ia menghitung, bukan mempertimbangkan. Mesin pencari tidak tahu mana benar dan mana baik; ia hanya tahu mana yang populer. Di sinilah tantangan moral muncul ketika logika algoritma mulai menggantikan logika nurani.
Lebih berbahaya lagi, manusia kini belajar menilai sesama berdasarkan angka jumlah pengikut, tanda suka, dan tingkat keterlibatan. Nilai kemanusiaan tergantikan oleh nilai komersial. Bahkan kebaikan pun kini harus punya keterangan menarik agar dianggap bermakna. Dunia seakan kehilangan rasa malu, tapi penuh rasa haus validasi.
3. Kembali pada Hakikat: Manusia yang Berhati
Kita tidak sedang menolak kemajuan, tentu tidak. Teknologi adalah alat luar biasa yang bisa menyelamatkan banyak hal dari nyawa manusia hingga waktu tidur mahasiswa. Tapi ketika alat itu menjadi pusat nilai, kita kehilangan arah.
Humanisme di era digital seharusnya tidak berhenti pada nostalgia tentang masa lalu, tapi menjadi kesadaran baru bahwa kemajuan tanpa empati hanyalah percepatan menuju kehampaan. Kita perlu membangun humanisme digital, yaitu cara berpikir yang memadukan teknologi dengan tanggung jawab moral.
Menjadi manusia digital seutuhnya berarti tetap punya hati, bahkan di tengah tanda pagar. Mungkin sesederhana mematikan ponsel saat teman bicara, atau mendengar tanpa tergoda membuka notifikasi. Humanisme tidak lahir dari teori besar, tapi dari tindakan kecil yang penuh rasa.
4. Saatnya Menjadi Manusia Lagi
Kita boleh hidup di dunia maya, tapi jangan mati di dunia nyata. Teknologi seharusnya memperkuat kemanusiaan, bukan menipiskannya. Mari mulai kembali pada nilai-nilai yang membuat kita manusia: rasa, empati, dan kesadaran. Karena pada akhirnya, yang membedakan manusia dari mesin bukanlah kemampuan berpikir cepat, tapi kemampuan untuk berhenti sejenak dan merasa.
Jadi, Era digital membawa kemajuan yang luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Namun, di balik pesatnya perkembangan tersebut, muncul krisis kemanusiaan yang perlahan mengikis nilai-nilai rasa, empati, dan moralitas. Media sosial yang awalnya bertujuan memperluas komunikasi kini justru menipiskan sensitivitas manusia terhadap sesama. Teknologi yang seharusnya membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari, kini mulai mengatur cara berpikir, menilai, dan berinteraksi.
Humanisme modern menuntut manusia untuk kembali memahami jati dirinya sebagai makhluk yang berakal budi, berperasaan, dan memiliki nurani. Teknologi seharusnya tetap ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pusat nilai kehidupan. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran baru yang dikenal sebagai humanisme digital, yaitu pandangan yang menggabungkan kemajuan teknologi dengan tanggung jawab moral serta empati terhadap sesama.
Menjadi manusia sejati di era digital bukan berarti menolak kemajuan teknologi, tetapi menggunakannya secara bijaksana dengan tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Hanya dengan keseimbangan antara logika dan nurani, manusia dapat memastikan bahwa perkembangan teknologi benar-benar memperkuat kemanusiaan, bukan mengikisnya. Pada akhirnya, yang membedakan manusia dari mesin bukanlah kemampuan berpikir cepat, melainkan kemampuan untuk merasakan, peduli, dan hadir sepenuhnya dalam kehidupan nyata
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
.png)
3 hours ago
3












































