nabila rahadatul ais
Agama | 2025-11-12 22:59:23
Ketika Kasih Sayang Menyentuh Batas
Beberapa waktu terakhir, jagat maya diramaikan oleh sebuah video yang memperlihatkan Gus Elham Yahya mencium seorang anak perempuan kecil di depan publik. Cuplikan itu cepat menyebar, memantik banyak tanggapan. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk kasih sayang yang wajar, namun tidak sedikit pula yang menilai tindakan itu tidak pantas, terlebih karena dilakukan oleh figur yang dikenal sebagai tokoh agama.
Sebagai mahasiswa sosiologi, saya melihat fenomena ini bukan hanya soal perilaku personal, tetapi juga gambaran bagaimana struktur sosial dan relasi kuasa bekerja di masyarakat kita.
Pertama, kita bisa melihat adanya kekuasaan simbolik yang melekat pada sosok seorang tokoh agama. Dalam masyarakat yang masih sangat menghormati pemimpin spiritual, tindakan seorang Gus sering kali mendapat perlakuan berbeda. Banyak orang enggan menilai kritis, karena khawatir dianggap tidak sopan terhadap ulama. Dalam konsep Pierre Bourdieu, ini disebut symbolic power kekuasaan yang membuat seseorang mampu menentukan apa yang dianggap wajar atau pantas, hanya karena posisi sosialnya yang tinggi.
Kedua, reaksi masyarakat terhadap peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan cara berpikir generasi muda. Kini, publik terutama yang aktif di media sosial lebih berani menyuarakan pendapat dan mengkritik, bahkan terhadap tokoh agama sekalipun. Ini menandakan tumbuhnya kesadaran baru tentang batasan etika, perlindungan anak, serta pentingnya menjaga ruang publik dari tindakan yang bisa disalahpahami. Dalam pandangan sosiologi budaya, ini adalah bukti bahwa norma sosial kita sedang bertransformasi seiring dengan meluasnya akses informasi dan meningkatnya keberanian untuk bersuara.
Namun di sisi lain, polemik ini juga memperlihatkan keragaman cara pandang masyarakat. Sebagian menilai tindakan itu bentuk kasih sayang yang tulus dan tidak perlu dibesar-besarkan, sementara sebagian lain memandangnya sebagai pelanggaran norma yang perlu dikritik. Perbedaan pandangan ini menegaskan bahwa nilai moral dan batas kepantasan selalu bersifat relatif, tergantung pada konteks sosial dan budaya yang melingkupinya.
Sebagai masyarakat yang religius sekaligus modern, kita perlu mampu menempatkan diri secara bijak. Menghormati tokoh agama bukan berarti menutup mata terhadap tindakan yang menimbulkan pertanyaan etis. Justru karena mereka membawa simbol moral dan keagamaan, setiap perilakunya memiliki bobot sosial yang lebih besar di mata publik.
Kasus ini seharusnya menjadi cermin bersama, bukan sekadar bahan perdebatan di dunia maya. Ia mengingatkan kita untuk lebih peka terhadap dinamika kuasa, simbol, dan nilai yang terus berubah dalam kehidupan sosial.
Sosiologi mengajarkan kita bahwa memahami lebih penting daripada sekadar menghakimi. Dengan memahami konteks sosial di balik setiap peristiwa, kita belajar melihat realitas dengan lebih jernih—bahwa di balik setiap kontroversi, selalu ada pelajaran tentang manusia, budaya, dan masyarakat itu sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
.png)
3 hours ago
2












































