Hidup Stagnan di Era Kemajuan

3 hours ago 2

Image Alfatan Zullyansyah

Edukasi | 2025-11-13 11:55:33

Era kemajuan yang diwarnai oleh perkembangan teknologi yang semakin kilat bagai guntur dilangit. Di balik kemajuan itu semua terdapat pengorbanan kemanusiaan, alih-alih memanusiakan manusia. Kemajuan ini mengikis kemanusiaan yang dikikis sedemikian rupa agar membentuk patung yang rupawan. Homo mensura yang digaungkan bagai kokok ayam pada pagi hari, era yang digadangkan menjadi abad pencerahan manusia karena peralihan narasi, berubah menjadi mesin yang membunuh dirinya sendiri. Rasionalitas yang diagungkan harus mengorbankan rasa moralitas yang diperlukan.

Perkembangan yang diawali mesin uap berubah bentuk menjadi ruang digital yang tersistematis. Dahulu dominasi direpresentasikan oleh sosok yang berkuasa, sekarang dominasi direpresentasikan oleh sesuatu yang tak terlihat. Kehidupan yang diempukan sebagai cikal bakal kesejahteraan, kemakmuran, keamanan bagi seluruh manusia, malah berbalik arah dan memperparah kesenjangan antar manusia dan degradasi nilai humanis yang dielukan. Semua itu harus dibayar karena orientasi serakah pada profit dan nilai-nilai ekonomis, pasar bebas yang terartikulasikan sebagai raja ekonomi bagi setiap manusia, berubah menjadi raja bagi satu manusia. Sama halnya tentang pendidikan, teknologi yang seharusnya menjadi sebuah mesin diputar balikan menjadi manusia, sedangkan manusia dijadikan mesin, dalam simbol ilmiah. Pun dirasa dalam sosial politik, praktik teknologi menjadi hegemoni terbesar, menjauhkan hegemoni yang lain. Praktik teknologi menjadi Ideological State Apparatuses terbesar dan utama di era ini.

Kebebasan atau Kungkungan

Pendidikan menurut Freire menjadi sebuah proses kemanusiaan, telah berubah di era ini, menjadi sebuah proses automasi. Ruang kelas yang seharusnya diisi oleh ruang-ruang dialektis, kini diubah menjadi ruang-ruang pasifasi. Murid dahulu dibentuk sebagai penerus bangsa, kini dibentuk sebagai penerus mesin. Pencetakan pemikiran kritis diberangus dengan kedatangan teknologi terkhusus A.I. Dibentuk untuk menjadi alat bantu, A.I berubah menjadi sumber primer setiap pelajar. Tak ada lagi teman pintar yang perlu didekati, hanya perlu A.I untuk menjadi pintar dalam sekejap. Kedatangan teknologi ini perlu dikritisi, bukan hanya kita harus siap menerima akan kemajuan, tetapi kita pun harus melihat pojok hitam yang ada di belakangnya.

Tujuan pendidikan yang harusnya menjadi dominasi atas pemaknaan dunia, diganti menjadi dominasi atas mesin. Kebebasan dalam ruang akademis terintervensi oleh penjara dunia virtual. Kebebasan akan bertanya, mencipta, membangun, mencoba, untuk menjadikan manusia yang aktif dan bertanggung jawab harus dimarjinalkan dengan kedatangan teknologi. Apa arti kebebasan diubah menjadi arti kungkungan, penjara tak kasat mata yang di dalamnya terdapat profesor gaib. Manipulasi yang diajukan oleh mereka adalah kemudahan. Kemudahan yang dimaksudkan adalah kemudahan untuk memberangus pemikiran kritis. Buku menjadi lawan mesin menjadi kawan setiap pembelajaran, bukan lagi model pendidikan gaya bank yang harus dikhawatirkan sekarang, akan tetapi model pendidikan gaya robot yang harus dikhawatirkan. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang diserap oleh kaumnya dipergunakan sebagai alat reduksi manusia untuk mengubahnya menjadi sebuah benda.

Pasar sebebasnya dan Raja segalanya

Homo economicus berarti manusia membutuhkan suatu hal untuk kehidupan pribadinya, tak ada yang salah untuk tuntutan pribadi terlebih dahulu tapi setelahnya untuk umum. Ekonomi baru yang berlandaskan sabda digital, dedikasi untuk mereka yang kurang beruntung yaitu orang-orang yang diujung jalan untuk diberi kerja dalam ruang kontrol baru. Akses-akses yang dapat dijangkau kapan pun, dan dimanapun, atau fleksibilitas sebagai kemajuan harus diterima oleh siapapun, disebut juga microwork yang disabdakan sebagai ekonomi baru era digital. Dengan motto beri mereka pekerjaan bukan bantuan, tapi dibalik itu semua tujuan mereka hanya satu, yaitu tenaga kerja yang murah pastinya, fakta ini dapat dibuktikan melalui target, apa yang disebut beri mereka pekerjaan selalu menyasar wilayah-wilayah konflik.

Skema yang digunakan bagai obat mujarab bagi mereka yang membutuhkan, tapi dibalik itu ada jebakan yang mengintai mereka dalam siklus bekerja untuk hidup. Mereka dibentuk sebagai surplus populasi relatif atau Marx bilang sebagai pekerja mengambang, setengah dipekerjakan, setengah menganggur mereka terjebak dalam siklus kehidupan stagnan. Sistem diperlukan untuk memperluas bukan mempersempit lapangan pekerjaan, yang terjadi malah sebaliknya mereka mempersempit lapangan pekerjaan dengan kehadiran teknologi dengan memperketat persaingan kerja, hanya orang yang disebut ahli dalam mengatur teknologi yang dapat pekerjaan dan upah pasti, sisanya mereka dipaksa untuk bekerja untuk hidup, tanpa hak atau upah pasti yang disebut pekerja bebas, inilah apa yang disebut dengan ekonomi gig.

Fleksibilitas kerja menggugurkan segala ikatan hukum antara pekerja dan majikan, secara diam-diam mereka dieksploitasi oleh sistem, yang mana sistem ini sekarang diperkuat dengan hadirnya teknologi terutama ruang digital. Gamifikasi istilah yang digunakan oleh Phil Jones untuk keadaan saat ini. Bahasa upah yang sekarang diganti sebagai reward inilah yang mereka rasakan, alih-alih dengan mengerjakan tugas mereka dibayar dengan layak, mereka dibayar dengan upah yang tidak masuk akal karena tak adanya kontrak lebih spesifiknya upah pasti. Ketika itu semua terjadi status kerja mereka harus dipertanyakan. Tanpa upah pasti, mereka dipaksa untuk menjadi budak bukan pekerja. Hidup mereka akan terus berputar dalam lingkaran setan yaitu kerja untuk kebutuhan fisiologis saja.

Sementara dibalik itu ada sesuatu yang disebut Big Data inilah raja sesungguhnya, bagi orang yang mempunyai kuasa atas itu, secara teori mereka dapat memperkerjakan dan memberhentikan seorang pekerja dalam hitungan detik. Kejamnya sistem ini terbukti dengan: bagi siapa pun yang bersuara akan ketidakadilan akun yang dimilikinya akan dinonaktifkan secara sepihak tanpa bisa berbuat apa-apa. Pasar sebebasnya adalah fantasi mereka, mereka yang berkuasa atas Big Data, tanpa serikat kerja, dan institusi pekerjaan, mereka tidak akan pernah terdisrupsi apa pun. Mimpi buruk terakhir adalah ketika para pemilik alat-alat produksi tidak lagi mempekerjakan orang melainkan mesin, upah yang tidak pasti atas suatu pekerjaan, waktu bekerja yang tidak tentu bahkan seseorang yang baru saja terbangun dari tidurnya dipaksa untuk bekerja langsung tanpa harus melakukan aktivitas lainnya. Dan pada akhirnya teknologi membentuk eksploitasi baru, mendorong pekerja lebih keras untuk mendapat reward, sistem skoring yang diskriminatif, juga menjadikan manusia hanya untuk bermain bukan bekerja.

Dunia Maya dan Realita

Ruang hidup yang dibutuhkan adalah ruang sosial kini diterjemahkan oleh dunia maya. Dunia sosial yang seharusnya berada dalam ranah realitas kini berada dalam ranah imaginer dalam sendi teknologi. Relokasi ranah realitas pada maya dalam asas digital menjadi sebuah perampasan ruang hidup yang tak bisa dihindari oleh siapapun saat ini. Bercakap-cakap hanya membutuhkan jentikan jari pada alat yang disebut keyboard ataupun layar handphone tanpa harus mengeluarkan emosi atau intonasi pastinya. Sesuatu yang kita sebut teknologi itu tak bisa dihindari, bahkan dalam setiap menit kita perlu memeriksanya. Dengan itu teori simulakra ataupun spectacle terwujudkan saat ini, ketika bias realita dan maya tak bisa dihindari lagi menjadi sebuah fantasi, atau bisa disebut opium yang menimbulkan efek halusinasi dan kecanduan yang akut, bahkan lebih kronis dari penyakit kronis sekali pun.

Salah satu kanal terkemuka dalam teknologi adalah dunia maya, mereka dibentuk untuk melakukan hegemoni, dan normalisasi. Akses terbuka untuk melihat berita yang terjadi menjadi sebuah keuntungan sendiri bagi mereka yang berkuasa, mereka tak perlu lagi senapan untuk mengontrol, mereka hanya butuh apa yang disebut dunia maya untuk melakukan kontrol dan normalisasi. Lebih efektif bahkan dari sianida sekalipun, racun yang dibubuhi dunia maya ini bahkan tak bisa dipilah karena samarnya ahli sekalipun kadang terkecoh. Dengan peranan teknologi, mereka yang berkuasa dapat menghasut bahkan memarjinalkan suatu kaum dengan cap baik atau buruk, sesuai atau tidak sesuai. Kestabilan kuasa dengan oposisi semakin timpang dikarenakan adanya teknologi yang menopang itu semua.

Akhir dari pada tulisan ini. Dibalik kata kemajuan telusurilah mereka pada jurang yang paling dalam di dirinya, usut tuntas kemungkinan yang akan terjadi, berspekulatiflah ambiguitas terjadi karena sesuatu terlihat asing bagi kita. Dengan mengusut lebih jauh dan lebih dalam, mungkin hal itulah sebab terselamatkannya diri kita dari bahaya yang mengintai dalam kata kemajuan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |