Kenaikan bursa Asia mengikuti tren positif di Wall Street, seiring meredanya kekhawatiran perang dagang global.
Bursa Asia Menguat saat Wall Street Kompak Naik. (Foto: Reuters)
IDXChannel – Bursa saham Asia naik pada perdagangan Kamis (6/2/2025). Pergerakan ini mengikuti tren positif di Wall Street, seiring meredanya kekhawatiran perang dagang global setelah langkah hati-hati dari Amerika Serikat (AS) dan China.
Berdasarkan data pasar, hingga pukul 09.33 WIB, Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,26 persen dan Topix Jepang terkerek 0,21 persen.
Di Jepang, mengutip Trading Economics, investor mencermati gagalnya pembicaraan merger antara Honda dan Nissan, dengan Honda justru mengajukan akuisisi terhadap Nissan.
Selain indeks saham Jepang, indeks Shanghai Composite juga terapresiasi, yakni sebesar 0,36 persen, sedangkan Hang Seng Hong Kong tumbuh 0,10 persen.
Demikian pula, indeks ASX 200 Autralia yang mendaki 1,07 persen, KOSPI Korea Selatan yang terangkat 0,71 persen, dan STI Singapura 0,45 persen.
Wall Street Menguat
Indeks saham utama AS atau Wall Street ditutup menguat pada Rabu (5/2) saat investor menganalisis data ekonomi terbaru dan laporan keuangan perusahaan.
Indeks Dow Jones Industrial Average naik 0,7 persen ke 44.873,3, sementara S&P 500 menguat 0,4 persen ke 6.061,5. Nasdaq Composite juga bertambah 0,2 persen ke 19.692,3.
Mengutip MT Newswires, sektor properti dan teknologi memimpin kenaikan, sementara layanan komunikasi mencatat pelemahan terbesar. Sektor material nyaris tak berubah.
Dari data ekonomi, pertumbuhan lapangan kerja di sektor swasta AS melampaui perkiraan pada Januari, sementara kenaikan upah tetap stabil, menurut laporan Automatic Data Processing (ADP).
Namun, aktivitas sektor jasa AS melambat di bulan yang sama akibat lemahnya permintaan baru, berdasarkan survei Institute for Supply Management (ISM) dan S&P Global. Survei ISM juga mencatat kekhawatiran terkait potensi kebijakan tarif pemerintahan Trump.
"Kami memperkirakan sektor jasa tetap tumbuh solid ke depan," kata analis Jefferies dalam catatannya.
"Dampak bersih dari tarif kemungkinan cukup moderat terhadap margin laba perusahaan dan inflasi, dengan efek negatif yang tertutupi oleh deregulasi dan pemotongan pajak."
Defisit perdagangan AS melonjak 25 persen pada Desember, membawa total defisit 2024 ke USD 918,42 miliar, menurut data pemerintah.
Pada Selasa, China mengumumkan serangkaian tarif balasan terhadap AS. Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menunda tarif terhadap Meksiko dan Kanada selama satu bulan.
Presiden Federal Reserve (The Fed) Chicago Austan Goolsbee menilai ekonomi AS masih kuat, dengan inflasi mendekati target 2 persen.
Namun, ia mengingatkan bahwa jika inflasi meningkat atau stagnasi terjadi pada 2025, The Fed harus menentukan apakah lonjakan harga berasal dari overheating ekonomi atau dampak tarif.
"Perbedaan ini akan sangat menentukan kapan atau apakah The Fed perlu bertindak," ujarnya.
Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun turun 8,9 basis poin menjadi 4,42 persen pada Rabu, sementara imbal hasil dua tahun turun 2,7 basis poin menjadi 4,19 persen.
Dari korporasi, saham Alphabet (GOOG) anjlok 7,3 persen, sementara saham kelas C-nya turun 6,9 persen—menjadi penurun terbesar di Nasdaq dan salah satu yang terburuk di S&P 500—setelah pendapatan kuartal IV perusahaan induk Google ini meleset dari ekspektasi Wall Street.
Saham terkait kecerdasan buatan (AI) mulai pulih setelah terpukul pekan lalu akibat popularitas model AI murah asal China, DeepSeek. Nvidia (NVDA), yang sebelumnya mencatat salah satu penurunan terbesar, naik 5,4 persen pada Rabu, sementara Broadcom (AVGO) menguat 4,3 persen.
"Permintaan AI tidak akan hilang meskipun ada berita DeepSeek. Semua perusahaan tetap harus mengeluarkan lebih banyak dana, dan itulah inti dari tren AI. Ini adalah siklus yang panjang," kata analis investasi senior di U.S. Bank Asset Management, Rob Haworth.
Investor kini menanti laporan tenaga kerja nonpertanian Januari yang dijadwalkan rilis Jumat ini.
Pasar juga mencermati perkembangan kebijakan tarif setelah Trump menyatakan pada Selasa bahwa dirinya tak terburu-buru untuk berbicara dengan Presiden China Xi Jinping guna meredakan ketegangan dagang terbaru. (Aldo Fernando)