Muhammad Balyan Fauzan Al Laduni (Foto : Istimewa)
PRESIDEN Amerika Serikat, Donald Trump, telah mengajukan sebuah rancangan yang berkaitan dengan Jalur Gaza. Melalui konferensi pers yang dilakukan bersama dengan Benjamin Netanyahu yang merupakan Perdana Menteri Israel, pada 5 Februari 2025.
Trump dengan percaya diri menyatakan bahwa “Gaza telah menjadi simbol kematian dan kehancuran” dan bahwa AS akan mengambil alih wilayah tersebut. Pernyataan ini diucapkan oleh Trump sebagai bentuk tanggapan atas ketidakstabilan yang telah berlangsung cukup lama di kawasan Gaza tersebut.
Trump kemudian mengajukan usul untuk melakukan pemindahan penduduk Gaza secara paksa demi keamanan. Trump dengan jelas telah menganggap Gaza hanya sebagai sebidang lahan yang bisa dijadikan sebagai kawasan rekreasi dan sarana investasi strategis suatu hal yang ia ibaratkan sebagai “Riviera Timur Tengah” walaupun rencana tersebut mengandung suatu akibat hukum dan kemanusiaan yang serius.
Selanjutnya, Trump menguatkan komitmennya dalam pernyataan lanjutan bahwa ia “berkomitmen untuk membeli dan memiliki Gaza.” Dalam pesawat yang menuju New Orleans pada 9 Februari 2025, ia menyampaikan pernyataan bahwa dalam proses pembangunan kembali akan kemungkinan besar melibatkan pihak-pihak lain di kawasan Timur Tengah, AS sebagai pemeran utama memiliki peran dalam mengambil alih dan memastikan tidak mungkin lagi adanya kelompok Hamas yang kembali ke wilayah Gaza tersebut.
Pernyataan ini kemudian mengimplikasikan rencana tersebut tidak hanya berkaitan dengan rehabilitasi infrastruktur, namun juga menyiratkan secara tidak langsung pemindahan penduduk secara permanen dan secara paksa, yang menimbulkan secara jelas pertanyaan serius mengenai pelanggaran hukum internasional.
Banyak pihak mengkritik pernyataan Trump tersebut sebagai bentuk pembersihan etnis, karena berdasarkan Konvensi Jenewa pengusiran penduduk sipil secara paksa dari tanah air asli mereka adalah pelanggaran atas prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Masyarakat internasional mengutarakan penolakan tegas atas proposal Trump.
Dalam rapat PBB pada Rabu, 5 Februari 2025, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menekankan pentingnya menghindari pembersihan etnis dalam proposal yang diberikan Trump. Guterres juga menekankan pentingnya solusi dari konflik yang berlangsung di Gaza harus menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional serta tidak menyebabkan penderitaan lebih lanjut untuk warga Palestina.
Reaksi negatif juga disampaikan oleh Raja Yordania Abdullah II dalam diskusinya bersama Trump pada tanggal 11 Februari 2025. Raja Abdullah II menyatakan ketidakinginannya untuk mendukung apa pun yang menyebabkan pemindahan paksa warga Palestina dan menegaskan bahwa usaha apapun untuk rekonstruksi Gaza tidak boleh melibatkan pemindahan paksa terhadap warganya.
Oleh karena itu, pernyataan Trump menuai kontroversi atas pandangan ekspansionis dan mengancam kedaulatan Palestina. Indonesia juga menyatakan penolakan atas rencana Trump. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menegaskan bahwa pemindahan paksa warga Palestina atau perubahan komposisi demografis wilayah pendudukan Palestina dapat menghambat tercapainya kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.