REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Negara-negara Muslim dilaporkan masih menunda penerjunan pasukan ke Gaza seperti dalam poin gencatan senjata Presiden AS Donald Trump. Mereka tak ingin harus berhadapan dengan Hamas dan dilihat sebagai kaki tangan Israel.
Gencatan senjata yang rapuh di Gaza yang mulai berlaku pekan lalu didasarkan pada beberapa asumsi utama: bahwa pejuang Hamas menyerahkan senjata mereka dan bahwa kehadiran pasukan internasional menjaga perdamaian ketika Israel menarik militernya dari wilayah tersebut.
Namun, the New York Times melaporkan, negara-negara yang mungkin membentuk pasukan tersebut masih menahan pengerahan tentara yang berpotensi menimbulkan konflik langsung dengan Hamas ketika Hamas masih merupakan kelompok bersenjata, kata para diplomat dan orang-orang yang akrab dengan pertimbangan tersebut.
Rencana 20 poin Presiden Trump, yang mengarah pada gencatan senjata Israel-Hamas dan pertukaran sandera dengan tahanan dan tahanan, membayangkan pengerahan “Pasukan Stabilisasi Internasional sementara” di Gaza. Idenya adalah agar korps internasional mengamankan wilayah di mana pasukan Israel telah ditarik, mencegah amunisi memasuki wilayah tersebut, memfasilitasi distribusi bantuan dan melatih pasukan polisi Palestina.
Pembentukan dan pengerahan pasukan internasional di Gaza dapat menentukan apakah gencatan senjata yang ada saat ini mempunyai peluang untuk berkembang menjadi perjanjian yang langgeng, dan apakah Israel dan Palestina bergerak menuju tujuan perdamaian yang lebih luas dan tahan lama.
Aksi Brigade Al-Qassam menjebak tank-tank Israel di persimpangan Al-Saftawi, sebelah barat kamp Jabalia, September 2025.
Para diplomat dan pejabat lain dari beberapa negara yang mengetahui situasi ini mengatakan hanya ada sedikit kemajuan mengenai kapan pasukan tersebut akan dibentuk karena kebingungan mengenai misi pasukan tersebut, yang tampaknya merupakan hambatan paling serius.
Perwakilan dari beberapa negara yang dianggap sebagai peserta telah mengatakan secara pribadi bahwa mereka tidak akan mengerahkan pasukan sampai ada kejelasan lebih lanjut tentang apa yang akan dilakukan pasukan tersebut setelah tiba di Gaza, menurut dua diplomat yang diberi pengarahan mengenai diskusi dalam beberapa hari terakhir.
Kekhawatiran utama mereka adalah bahwa pasukan mereka harus melawan pejuang Hamas, yang beberapa di antaranya masih bersenjata lengkap, atas nama Israel. Bagi beberapa negara, prospek tersebut saja sudah menjadi alasan yang cukup untuk mundur, kata para pejabat.
Beberapa negara juga telah mengindikasikan dalam diskusi pribadi bahwa mereka tidak ingin pasukan mereka berada di pusat-pusat kota Gaza, karena bahaya yang ditimbulkan oleh Hamas dan jaringan terowongannya, menurut diskusi dengan orang-orang yang mengetahui pembicaraan tersebut.
Semua pihak berbicara dengan syarat anonimitas, dan bersikeras agar negara-negara yang enggan disebutkan namanya, untuk membahas diskusi sensitif tersebut.