REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak menjadi ruang intelektual penting bagi perjumpaan gagasan keagamaan dan krisis ekologis dalam Muktamar Pemikiran Ulama Muda untuk Moderasi Beragama dan Eko-Teologi yang digelar pada 12–13 November 2025. Mengusung tema 'Teologi Kerukunan Kosmik: Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam.' Kegiatan ini menghadirkan para akademisi, ulama, dan peneliti untuk merumuskan peran strategis agama dalam menghadapi kerusakan lingkungan dan bencana yang kian masif.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Prof Marhumah, menegaskan perlunya pergeseran paradigma dalam memahami konsep manusia sebagai khalifah di bumi. Menurutnya, tafsir antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam harus dikritisi.
“Perlu pergeseran pemaknaan khalifah di muka bumi, di mana manusia harus sejajar dengan bumi dalam aspek peran dan tanggung jawab,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa alam semesta harus dipahami sebagai makhluk hidup karena seluruh ciptaan Tuhan memiliki nilai kehidupan.
Dalam konteks ini, pesantren dinilai strategis untuk mengubah cara pandang relasi Tuhan, manusia, dan alam, bahkan mendorong agar hifdzul biah (menjaga lingkungan) ditambahkan sebagai tujuan baru dalam maqashid syariah.
Sementara itu, Guru Besar BRIN Prof Alie Humaidi menyampaikan kritik tajam terhadap realitas ekologis Indonesia, khususnya bencana di Sumatra yang menurutnya merupakan cermin kerakusan manusia.
"Bencana alam di Sumatera adalah potret kerusakan lingkungan akibat kerakusan manusia, terutama korporasi yang mengatasnamakan kebutuhan manusia," katanya.
Ia menilai umat beragama hari ini mengalami krisis praksis ekologis. "Umat beriman hanya mengejar kepuasan spiritual-ritual, tetapi tidak mempunyai aspek ekologi. Beragama tanpa jejak ekologi," katanya. Bahkan ia menyimpulkan secara reflektif, agamawan gagal dalam melestarikan lingkungan meskipun ajaran tentang lingkungan sangat banyak.
Prof Alie juga menyoroti peran pesantren yang secara historis dekat dengan alam. Ia mengingatkan bahwa pesantren dahulu hidup berdampingan dengan sungai, hutan, dan persawahan, serta memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungan.
"Banyak pesantren mampu mendorong kelestarian lingkungan, tetapi pertanyaannya, berapa banyak pesantren yang punya skenario pendidikan lingkungan bagi santrinya?" ujarnya, seraya menegaskan bahwa pesantren harus kembali mengambil peran aktif dalam konservasi lingkungan karena posisinya yang dekat dengan ruang ekologis pedesaan.
Dari perspektif fikih dan teologi Islam, KH Moqsith Gazali dari MUI mengingatkan bahwa manusia dan alam memiliki hubungan ontologis yang sangat erat. “Dalam Alquran, manusia diciptakan dari elemen bumi. Artinya manusia bersaudara dengan alam semesta,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa meskipun manusia memiliki fungsi eksploitasi, Alquran juga menegaskan tugas konservasi (imarah). Namun, yang terjadi justru ketimpangan. "Manusia lebih ingat fungsi eksploitasi daripada fungsi konservasi," ujarnya.
KH Moqsith juga menyoroti keterbatasan hukum Islam kontemporer dalam merespons krisis lingkungan. Menurutnya, kerusakan hari ini bukan lagi dilakukan individu, melainkan oleh korporasi dan bahkan negara.
"Pandangan hukum kita masih menempatkan manusia sebagai satu-satunya objek hukum. Padahal kerusakan lingkungan dilakukan oleh persekutuan manusia, dan ini belum memiliki rujukan fikih yang memadai," jelasnya. Karena itu, ia mendorong perluasan tujuan syariat agar isu lingkungan mendapat posisi yang lebih kuat dalam bangunan hukum Islam.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama RI sebagai ikhtiar menggali pemaknaan, peran, dan rekomendasi ulama muda dalam isu moderasi beragama dan eko-teologi.
Rangkaian acara dilanjutkan dengan halaqah tematik yang membahas moderasi beragama dan ekoteologi secara lebih mendalam, serta diakhiri dengan rekomendasi dan deklarasi bersama untuk penguatan praktik ekoteologi di tengah masyarakat, terutama dalam konteks Indonesia yang tengah menghadapi situasi kebencanaan berulang.
Muktamar ini menegaskan satu pesan kunci: agama, pesantren, dan ulama muda tidak cukup hanya berbicara keselamatan spiritual, tetapi juga dituntut hadir dalam upaya penyelamatan bumi sebagai amanah teologis dan tanggung jawab kemanusiaan.
.png)
12 hours ago
4












































