'Muhammadiyah Pecah' dan Air Mata Buya Hamka

1 hour ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak medio 1950-an, kekuasaan politik di Indonesia kian terpusat pada sosok Presiden Sukarno. Pada 1 Desember 1956, Mohammad Hatta meletakkan jabatan wakil presiden. Mundurnya negarawan berdarah Minang itu disebabkan adanya perbedaan yang prinsipil di antara kedua Dwi-Tunggal tersebut.

Bung Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno, yang meyakini bahwa revolusi belum selesai. Retorika tersebut justru menimbulkan kesan mengesampingkan pembangunan. Dalam hemat Hatta, revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan RI.

Pendapat lain mengatakan, Hatta mundur karena merasa, dalam sistem kabinet parlementer, presiden hanya bertugas sebagai kepala negara. Maka, fungsi wapres otomatis tidak diperlukan lagi.

Mundurnya Hatta membuat "girang" para politikus komunis. Dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menduduki posisi keempat terbesar. Di urutan pertama hingga ketiga, ada PNI, Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama.

Lebih melonjak kegirangan lagi PKI tatkala Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pecah pada Februari 1958. Munculnya PRRI dilatari ketidakpuasan tokoh-tokoh di daerah. Mereka menganggap, pemerintah pusat telah menganaktirikan daerah dalam pembangunan nasional.

Di samping itu, Bung Karno dinilai terlalu dekat dengan PKI, yang pada 1948 dahulu justru memberontak ketika Indonesia sedang digempur Belanda.

Dalam struktur PRRI, terdapat tokoh-tokoh penting Partai Masyumi. Memanfaatkan kesempatan, PKI lalu membujuk Bung Karno agar hak hidup Masyumi dicabut sekali dan untuk selama-lamanya. Pada 17 Agustus 1960, Presiden mengeluarkan Keppres No 200/1960. Isinya memerintahkan Masyumi untuk bubar.

Dalih utamanya, beberapa pemimpin partai berlogo bulan sabit-bintang itu terlibat dalam Peristiwa PRRI. Sementara, pimpinan Masyumi yang baru di bawah Prawoto Mangkusasmito tidak mengutuk mereka yang terlibat itu.

Sebagai partai yang banyak diisi kaum modernis, tentunya tidak ada pilihan bagi kendaraan politik ini selain taat pada regulasi—sekalipun beleid dibuat oleh pemerintah yang semena-mena, tetapi sah. Sejak 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan bahwa Partai Masyumi bubar.

'Maka pecahlah Muhammadiyah' 

Wajarlah bila Muhammadiyah termasuk yang kecewa dengan keputusan otoriter Bung Karno itu. Salah seorang tokoh Muhammadiyah yang turut menaruh concern akan hal ini ialah Buya Hamka.

Sebuah berita membuatnya terkejut pada 1960, yakni sesudah pembubaran-paksa Masyumi. Bung Karno dikabarkan menunjuk Moeljadi Djojomartono sebagai menteri koordinator kesejahteraan rakyat. Tak menunggu waktu lama, terjadilah perdebatan yang cukup sengit di internal Persyarikatan.

Sebagai catatan, Moeljadi adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Ia telah aktif di persyarikatan ini sejak remaja di Solo, Jawa Tengah. Hingga tahun 1959, namanya tercatat dalam struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ada yang menolak masuknya Moeljadi ke dalam kabinet. Mereka menilai, Muhammadiyah terkesan bertekuk lutut di bawah rezim Bung Karno. Sebab, Moeljadi yang dianggap merepresentasikan tokoh Persyarikatan justru masuk di dalam pemerintahan. Hamka ikut golongan yang berpandangan demikian.

Namun, ada pula yang secara terbuka mendukung Moeljadi menjadi menko kesra. Seorang tokoh Muhammadiyah kelahiran Kauman Yogyakarta, Farid Ma'ruf, termasuk yang memberikan dukungan itu.

Sesungguhnya, antara Hamka dan Farid Ma'ruf bisa dibilang sebaya. Mereka sama-sama kelahiran tahun 1908. Polemik dimulai dengan tulisan Hamka di harian Abadi. Judulnya cukup hangat: "Maka Pecahlah Muhammadiyah".

Dalam tulisannya itu, tokoh berdarah Minangkabau tersebut menyatakan, ada dua golongan dalam PP Muhammadiyah akibat masuknya Moeljadi ke dalam kabinet. Kedua kelompok yang bertolak belakang itu: golongan istana dan luar istana.

Hamka juga menyebut bahwa Farid Ma'ruf termasuk golongan yang pertama karena berupaya "membawa Muhammadiyah ke Istana". Akibatnya, sesudah artikel itu terbit sebagian warga Muhammadiyah menyudutkan nama Farid Ma'ruf dan tentunya Moeljadi Djojomartono.

Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014) memuat kisah mengharukan pascaterbitnya tulisan di harian Abadi 1960 itu. Tak lama kemudian, sidang Tanwir Muhammadiyah digelar di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Forum ini menjadi buruan para wartawan. Sebab, hadir di sana antara lain Buya Hamka dan Farid Ma'ruf.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |