MELALUI kebijaksanaannya menghapus kredit macet jutaan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), Presiden Prabowo Subianto sedang fokus merancang jalan baru bagi pemulihan kekuatan dunia usaha nasional. Setelah semua agenda politik terlaksana dengan baik, kini saatnya segenap elemen masyarakat juga fokus dan pro aktif mendukung upaya pemulihan kinerja ekonomi negara.
Semua daya dan upaya bersama saat ini hendaknya fokus pada pemulihan ekonomi nasional. Perihal urgensi pemulihan ekonomi ini sudah dipahami semua elemen masyarakat, karena masyarakat kebanyakanlah yang merasakan langsung ragam dampak dari melemahnya kinerja perekonomian negara saat ini. Lebih dari itu, sejumlah indikator yang sudah mengemuka di ruang publik pun sangat gamblang memberi gambaran tentang dinamika perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja.
Bahkan, sejumlah rencana, langkah dan pernyataan pemerintah pun menjadi pembenaran akan kecenderungan itu. Pemerintah sudah menerbitkan Inpres No.1/2025 perihal efisiensi anggaran kementerian/lembaga, termasuk transfer ke daerah. Target efisiensi mencapai Rp 306 triliun. Selain itu, kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen – kendati untuk barang mewah -- dipahami sebagai upaya pemerintah menambah penerimaan negara. Masih berkait dengan penguatan keuangan negara, pemerintah pun berencana menarik utang baru hingga Rp 775,86 triliun pada tahun ini.
Sebelumnya, para pemerhati dan komunitas yang peduli juga sudah membanjiri ruang publik dengan rangkaian data tentang gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), serta data tentang melemahnya daya beli masyarakat atau konsumsi rumah tangga. Rangkaian data itu kemudian dilengkapi dengan penyebarluasan informasi fakta tentang kebangkrutan banyak perusahaan dari berbagai sektor; dari kasus PT Sepatu Bata yang berhenti berproduksi hingga kasus PT Sritex yang dinyatakan pailit. Sekitar April 2024, juga dilaporkan bahwa Cibaduyut di Bandung yang sudah lama dikenal sebagai sentra industri sepatu pun tak luput dari masalah. Banyak produsen dan pedagang di Cibaduyut sudah menutup usaha karena volume penjualan yang anjlok dalam tahun-tahun terakhir.
Konsekuensi dari fakta itu adalah begitu banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Data resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang tahun 2024, jumlah pekerja yang harus menerima keputusan PHK mencapai 77.965 pekerja, naik 20,21 persen dibandingkan tahun 2023 yang jumlahnya 64.855 pekerja. Jumlah pengangguran yang terus bertambah berakibat pada lemahnya daya beli orang kebanyakan, termasuk menurunnya konsumsi rumah tangga.
Sebagaimana telah disimak bersama, Indonesia pada 2024 mencatat deflasi selama lima (5) bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Deflasi selalu merefleksikan daya beli masyarakat lemah, dan juga menjelaskan merosotnya produktivitas sektor bisnis, dan berujung pada melemahnya potensi pertumbuhan ekonomi. Per kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91 persen, sehingga laju pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 pun hanya 4,95 persen.
Data tentang menurunnya jumlah kelas menengah pun sangat relevan untuk menjelaskan lemahnya kinerja perekonomian negara. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Per 2019, jumlah kelas menengah Indonesia masih sebanyak 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total penduduk. Namun, pada 2024, jumlah komunitas kelas menengah terus menurun dan hanya tersisa 47,85 juta orang atau 17,13 persen.
Gambaran plus data-data tadi sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya sedang dihadapi semua elemen masyarakat saat ini. Situasinya jauh dari ideal dan sungguh-sungguh tidak memberi rasa nyaman. Maka, menjadi sangat jelas bahwa upaya memulihkan perekonomian nasional harus diprioritaskan.