Investasi hilirisasi Naik 30 Persen, Jadi Fondasi Pembangunan Negeri

11 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Upaya hilirisasi yang tengah dijalankan pemerintah dinilai sudah menunjukkan kemajuan, terutama pada sektor tembaga dan nikel. Namun, proses tersebut perlu dijalankan dengan hati-hati dan berorientasi pada kualitas agar tidak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Hingga kuartal III/2025, kebijakan hilirisasi kembali menjadi penyokong utama pencapaian target investasi nasional. Data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total realisasi investasi di sektor hilirisasi mencapai Rp150,6 triliun atau 30,6 persen dari total investasi.

Angka tersebut mengalami lonjakan sebesar 64,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini menegaskan bahwa strategi hilirisasi sebagai fondasi penting dalam membangun nilai tambah di dalam negeri.

Di samping itu, sektor mineral menjadi penyumbang investasi terbesar dengan capaian Rp97,8 triliun, diikuti sektor perkebunan dan kehutanan Rp35,9 triliun, minyak dan gas bumi Rp15,4 triliun, serta perikanan dan kelautan Rp1,5 triliun.

”Dalam pencapaian target itu yang paling penting tidak hanya dari segi angka tapi juga dari segi investasi yang berkualitas,” ujar Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Rosan Roeslani dalam keterangan tertulis, Jumat (17/10/2025).

Rosan menambahkan bahwa pemerintah akan terus memastikan setiap investasi yang masuk memberikan dampak positif, terutama dalam penciptaan lapangan kerja, serta merupakan investasi berkelanjutan yang berkontribusi pada pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.

Langkah ini sejalan dengan mandat yang diemban oleh Holding Industri Pertambangan, MIND ID, yang berperan vital dalam menjaga kualitas dan keberlanjutan proses hilirisasi nasional.

MIND ID yang memiliki peran sentral untuk memastikan integrasi rantai pasok hilirisasi seluruh mineral strategis Indonesia dari hulu ke hilir, melalui anggota holding, tidak hanya berfokus pada produksi bahan baku mentah, tetapi juga berinvestasi pada pembangunan infrastruktur pengolahan lanjutan.

Sebut saja seperti smelter tembaga dan fasilitas Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, guna mengintegrasikan pengolahan mineral dari hulu ke hilir di dalam negeri dan menjadi fondasi untuk industrialisasi guna meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

Di sisi lain, pengamat ekonomi energi Ferdy Hasiman menilai bahwa hilirisasi seharusnya menjadi langkah strategis menuju industrialisasi sejati, bukan sekadar kebijakan simbolik untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Menurutnya, pembangunan industri hilir perlu ditakar berdasarkan kualitas dan daya serap industri nasional, bukan hanya kuantitas investasi.

“Hilirisasi jalan tapi jangan dilakukan secara ugal-ugalan hanya demi target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Hilirisasi seharusnya ditakar berdasarkan kualitas bukan kuantitas,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Senin (20/10/2025).

Sebagai evaluasinya terhadap satu tahun pemerintahan Prabowo - Gibran, Ferdy menilai proyek hilirisasi tembaga telah mengalami perkembangan positif. PT Freeport Indonesia, misalnya, telah memasuki tahap komersial. Namun, kontribusi ekonomi dari hilirisasi tembaga masih relatif kecil, dengan nilai tambah sekitar 7–8 persen.

Ferdy juga menyoroti ketimpangan porsi investasi antarsektor, terutama dominasi proyek hilirisasi nikel yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi tersebut menimbulkan risiko ketergantungan yang tinggi terhadap satu komoditas. Apabila investasi di sektor nikel melambat, potensi tekanan terhadap ekonomi nasional dinilai menjadi besar.

Dia menyatakan cadangan nikel nasional harus dikelola secara hati-hati agar tetap berkelanjutan. Dengan pengelolaan tanpa konservatif, cadangan nikel Indonesia berpotensi habis dalam waktu satu dekade ke depan.

Oleh karena itu, kebijakan hilirisasi dinilai perlu mempertimbangkan daya dukung sumber daya alam serta kesiapan rantai pasok domestik.

Lebih lanjut, Ferdy menjelaskan perusahaan tambang pada dasarnya telah melaksanakan kewajiban hilirisasi sesuai ketentuan undang-undang. Tantangan justru terletak pada kesiapan industri hilir di dalam negeri untuk menyerap hasil olahan tambang seperti feronikel dan bahan setengah jadi lainnya.

Saat ini, sebagian besar produk intermediate tersebut masih harus diekspor kembali karena belum ada industri manufaktur hilir yang memadai.

“Perusahaan tambang sudah memproduksi feronikel untuk stainless steel. Pertanyaannya, siapa yang menyerap hasilnya? Industri kita belum siap, sehingga produk intermediate itu akhirnya diekspor lagi,” katanya.

Ferdy menilai bahwa langkah ke depan harus difokuskan pada pembangunan industri manufaktur di dalam negeri yang mampu memanfaatkan hasil olahan tambang secara langsung. Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing industri nasional, tetapi juga memperluas penyerapan tenaga kerja dan mengurangi ketergantungan terhadap impor produk jadi.

Penerapan strategi industrialisasi yang menyeluruh diharapkan dapat memperbaiki struktur ekonomi, menekan defisit perdagangan, serta menciptakan nilai tambah optimal dari kekayaan sumber daya alam Indonesia.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |