Daya Beli Lesu, Stabilitas Harga Minyak Goreng Harus Dijaga

1 month ago 38

Daya Beli Lesu, Stabilitas Harga Minyak Goreng Harus Dijaga

Stabilitas harga pangan seperti minyak goreng harus di jaga di tengah lesunya daya beli masyarakat (Foto: Okezone)

JAKARTA – Stabilitas harga pangan seperti minyak goreng harus di jaga di tengah lesunya daya beli masyarakat. Semakin lesunya daya beli masyarakat akibat himpitan ekonomi, masyarakat berhak mendapat minyak goreng dengan harga yang terjangkau melalui program minyak goreng merek MinyaKita.

“Secara teori, pemerintah memiliki kemampuan untuk menurunkan kembali Harga Eceran Tertinggi (HET) harga MinyaKita ke Rp14.000 per liter, tetapi hal tersebut membutuhkan kebijakan intervensi yang lebih kuat, baik dalam bentuk subsidi tambahan, penguatan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO), maupun pengurangan biaya produksi melalui insentif fiskal,” kata Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik UPNVJ Freesca Syafitri, Rabu (19/3/2025).

1. Spekulasi Harga

Namun, dia menegaskan, jika langkah ini tidak diimbangi dengan reformasi distribusi dan pengawasan yang lebih ketat, maka risiko kelangkaan dan spekulasi akan tetap tinggi. Kebijakan harga minyak goreng harus dilakukan secara hati-hati, mempertimbangkan keseimbangan antara daya beli masyarakat, keberlanjutan industri, dan stabilitas fiskal negara.

Menurut Freesca, jika pemerintah ingin menjadikan MinyaKita tetap terjangkau bagi masyarakat, maka pendekatan terbaik bukan hanya menurunkan HET, tetapi juga meningkatkan efisiensi dalam rantai pasok, menekan biaya produksi, serta memperbaiki mekanisme distribusi agar minyak goreng benar-benar tersedia bagi semua kalangan.

Di sisi lain dia juga mencermati industri minyak sawit dan minyak goreng di Indonesia dikuasai segelintir perusahaan besar yang mengendalikan seluruh rantai pasok, dari perkebunan hingga distribusi. “Struktur pasar oligopoli ini memungkinkan mereka memanipulasi harga, sementara petani kecil terpinggirkan dengan harga jual rendah,” kata Freesca.

 “Reformasi tata kelola industri menjadi keharusan, dengan regulasi ketat untuk membatasi dominasi korporasi, meningkatkan transparansi rantai pasok, serta memberikan insentif bagi petani kecil,” tambah dia.

2. Praktik Curang Minyakita

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan menyebutkan sejumlah alasan di balik praktik curang pengurangan volume Minyakita oleh distributor dan perusahaan pengemasan (repacker) yang berujung pada lonjakan harga di pasaran.

Menurutnya, salah satu faktor utama adalah keterbatasan akses terhadap minyak goreng dari skema Domestic Market Obligation (DMO). "Bisa jadi para repacker yang mengurangi volume itu tidak mendapatkan minyak DMO," kata Iqbal.

Distribusi minyak goreng rakyat itu, lanjut Iqbal, bergantung pada kesepakatan antara produsen dan repacker melalui mekanisme bisnis ke bisnis (B2B), yang sepenuhnya bersifat komersial. Artinya, tidak semua repacker bisa memperoleh pasokan minyak DMO, sehingga ada kemungkinan mereka mencari cara lain untuk tetap memproduksi dan mendistribusikan MinyaKita, termasuk dengan mengurangi volume atau menggunakan minyak komersial.

"Mengapa mereka tidak mendapatkan minyak DMO? Karena ini kan tergantung produsennya, mau kerja sama dengan repacker yang mana. Ini kan mekanismenya B2B dan murni skema komersial," ujar Iqbal menerangkan.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |