REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Thailand akan menggelar pameran halal internasional pertamanya, MEGA HALAL Bangkok 2025, pada Rabu (16/7/2025) hari ini hingga Jumat (18/7/2025)lusa. Acara ini menandai langkah strategis Thailand untuk menjadi hub ekspor halal Asia, meski negara tersebut bukan anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan mayoritas penduduknya non-Muslim.
Berbeda dari pendekatan normatif berbasis otoritas agama seperti di Malaysia dan Indonesia, Thailand memosisikan halal sebagai bagian dari infrastruktur perdagangan. Sertifikasi halal dikembangkan sebagai penunjang ekspor, bukan sekadar label religius. Sistem sertifikasinya terpusat, prosedurnya dibuat jelas, dan dirancang untuk mendukung daya saing produk halal Thailand di pasar Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.
“Negara lain sedang membangun ekosistem halal yang lebih ramping dan siap ekspor. Kita masih terbuai dengan reputasi global,” kata Profesor Pemasaran Monash University Malaysia, Dr Dilip Mutum dikutip dari The Edge Malaysia, Rabu (16/7/2025).
Tanpa pembenahan domestik, Malaysia maupun Indonesia berisiko kehilangan kredibilitas dan pangsa pasar di tengah pertumbuhan industri halal global. Dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/25, Malaysia masih menempati posisi pertama Global Islamic Economy Indicator (GIEI) untuk tahun ke-11 berturut-turut. Malaysia unggul di sektor makanan halal, wisata ramah Muslim, dan keuangan syariah. Sementara Indonesia berada di posisi ketiga dengan keunggulan pada industri busana Muslim. Namun Thailand mulai naik sebagai pesaing serius di kawasan.
Laporan yang sama memperkirakan belanja konsumen Muslim global naik dari 2,43 triliun dolar AS pada 2023 menjadi 3,36 triliun dolar AS pada 2028. Aset keuangan syariah dunia juga diprediksi tumbuh dari 4,93 triliun dolar AS menjadi 7,53 triliun dolar AS dalam periode yang sama.
Namun Malaysia menghadapi tantangan dalam negeri. Menurut Direktur Utama Mydin dan Ketua Bumiputra Retailers Organization Datuk Dr Ameer Ali Mydin, hanya 38,7 persen dari 9.162 perusahaan bersertifikat halal pada 2023 yang dimiliki oleh bumiputera.
“Ini menunjukkan bahwa sistem halal kita yang dihormati dunia, justru belum dimanfaatkan secara maksimal di rumah sendiri,” ujarnya.
Situasi serupa juga terjadi di Indonesia. Meski memiliki potensi pasar Muslim terbesar di dunia, UMKM halal masih menghadapi kendala biaya, rumitnya prosedur, dan rendahnya literasi terhadap pentingnya sertifikasi halal.
Di Thailand, pemerintah dan pelaku industri mengambil pendekatan berbeda. Sertifikasi Muslim-friendly untuk sektor perhotelan dikembangkan oleh Thai Muslim Trade Association (TMTA) agar lebih inklusif dan mudah diterapkan oleh pelaku bisnis non-Muslim. Rembrandt Hotel di Bangkok menjadi hotel pertama yang menerima sertifikasi Muslim-friendly tingkat dua dari TMTA, dengan fasilitas dapur halal terpisah dan staf berbahasa Arab.
Menurut Wakil Presiden TMTA, Fuad Gunsun, Thailand masih kalah dari Taiwan dan Hong Kong dalam peringkat CrescentRating lembaga penilai kesiapan destinasi wisata Muslim. “Thailand kalah bersaing karena destinasi lain lebih siap secara layanan, rute, dan sarapan halal di hotel masih sering tidak tersedia,” ujarnya kepada Bangkok Post.
Profesor Dilip menilai, untuk mempertahankan posisi global, Malaysia dan Indonesia perlu membenahi strategi halal domestik secara menyeluruh. “Malaysia bisa tetap memimpin jika mampu memperluas partisipasi sertifikasi halal secara inklusif. Atau kita hanya akan menonton negara lain berlomba, sementara kita tertinggal di garis start,” tegasnya.