REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zaman bergerak cepat, dan dalam arus modern ini, orang tua sering tergoda untuk memenuhi permintaan anak seketika. Namun, di balik kecepatan dan kemudahan itu, terdapat kerugian besar yaitu anak luput belajar seni menunggu, atau yang kita sebut kesabaran.
Padahal, kemampuan menunda keinginan adalah keterampilan dasar yang jauh lebih berharga daripada kecepatan merespons. Melatih kesabaran pada anak usia dini bukan sekadar upaya menenangkan anak yang merengek saat mengantre mainan atau menuntut sesuatu, melainkan sebuah investasi fundamental dalam pembentukan kecerdasan emosional dan sosialnya kelak.
Pendidik dari Rumah Main Cikal Kemang, Chindo Della Octarina Keulana, menempatkan kesabaran sebagai salah satu pilar utama perkembangan emosi anak. Menurut Chindo, saat anak dilatih untuk bersabar, misalnya harus menunggu hidangan siap atau bergantian menggunakan barang, mereka sedang membangun sebuah sistem pengelolaan diri yang efektif.
"Kemampuan bersabar dan menunggu membantu anak mengelola emosinya, berinteraksi secara positif, dan dapat membantu untuk berpikir lebih teratur," kata Chindo dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Senin (8/12/2025).
Anak-anak yang terbiasa menunggu akan memiliki regulasi emosi yang jauh lebih stabil. Mereka tidak akan mudah meledak dalam frustrasi, sebuah keterampilan yang akan sangat mereka butuhkan di dunia nyata yang tak selalu berjalan sesuai rencana.
Manfaat dari latihan menunggu ini tidak berhenti pada urusan emosi saja. Ia bahkan menjangkau ranah kognitif dan sosial. Anak-anak menjadi lebih cakap dalam berinteraksi dengan teman sebaya karena mereka mengerti konsep giliran dan kompromi. Mereka juga mengembangkan toleransi terhadap frustrasi dan stres.
Chindo mengatakan dampak kesabaran ini berjangka panjang dan nyata. "Anak yang terbiasa menunggu cenderung memiliki regulasi emosi yang lebih baik, memiliki keterampilan sosial yang baik, dan memiliki kemampuan untuk mengatasi frustasi dan stres. Selain itu, kemampuan ini juga berhubungan dengan peningkatan fungsi kognitif dan prestasi akademik di masa depan," kata dia.
Lantas, apa yang terjadi jika anak tidak dibekali keterampilan menunggu ini? Chindo menjelaskan dampaknya akan segera terlihat. Anak akan kesulitan besar dalam mengendalikan dorongan hati (impulsif) dan menunjukkan tingkat kemarahan atau frustrasi yang tidak proporsional saat keinginannya ditunda. Perilaku-perilaku ini termanifestasi dalam bentuk tantrum yang intens, kesulitan untuk fokus pada satu tugas, dan bertindak tanpa pertimbangan.
"Ketika anak belum terbiasa untuk menunggu, anak akan kesulitan dalam mengontrol dirinya dan akan menunjukkan frustasi yang tinggi ketika keinginannya tidak terpenuhi. Anak akan mudah tantrum, sulit fokus, dan bertindak impulsif," ujarnya.
Pada akhirnya, memberikan ruang bagi anak untuk merasakan ketidaknyamanan karena harus menunggu adalah sebuah hadiah, bukan hukuman. Ini adalah kesempatan bagi anak untuk belajar bahwa hidup memiliki jeda, dan di dalam jeda itulah mereka membangun otot emosi mereka. Tugas orang tua bukanlah menghilangkan rasa frustrasi anak, melainkan membimbing mereka melewati rasa frustrasi itu dengan tenang dan teratur.
.png)
1 hour ago
1














































