REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjuangan santri tidak boleh dibatasi hanya pada ruang ibadah dan ritual keagamaan. Santri merupakan simbol keseimbangan antara iman dan keindonesiaan yang menjadi pilar utama berdirinya Republik Indonesia.
“Santri bukan hanya ahli ibadah, tetapi juga pejuang kemerdekaan. Dari KH Hasyim Asy’ari yang menyerukan Resolusi Jihad, hingga ribuan santri yang gugur mempertahankan tanah air,” ujar Anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka, KH Maman Imanulhaq dalam refleksi Hari Santri Nasional 2025 di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa santri selalu menjadi garda depan dalam menjaga kedaulatan bangsa dan merawat nilai-nilai keislaman yang damai.
“Santri memandang agama bukan untuk menegakkan dominasi, tetapi untuk menebar rahmat, menjaga harmoni, dan menegakkan keadilan sosial," katanya.
Kang Maman, panggilan karibnya, menjelaskan bahwa santri adalah identitas asli Nusantara. Jauh sebelum muncul istilah 'gerakan transnasional', para kiai dan santri telah menjadi bagian dari jantung peradaban Islam di Bumi Nusantara. Mereka menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya, bukan kekerasan.
“Santri tidak lahir dari ideologi impor, tetapi dari kearifan lokal yang menyatukan tauhid dan tradisi,” ujarnya.
Bagi santri, menjaga Indonesia berarti menjaga amanah Tuhan atas bumi tempat berpijak. “Islam bagi santri bukan sistem politik yang memusuhi negara-bangsa, melainkan spirit moral yang membangun peradaban," kata Kang Maman.
Tema “Santri dan Peradaban Dunia”, kata KH Maman, merupakan panggilan zaman bagi generasi pesantren. Tantangan santri hari ini bukan lagi mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan fisik, melainkan mengawal kemerdekaan dari kebodohan, ketimpangan sosial, dan dekadensi moral.
“Santri harus tampil di panggung global dengan keilmuan, teknologi, dan diplomasi budaya. Indonesia berpotensi menjadi center of moderate Islam di dunia, dan santri bisa menjadi duta nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin di tengah dunia yang haus spiritualitas dan keadilan sosial,” jelasnya.
Karena itu, Kiai Maman mengajak para santri untuk tidak lagi menjadi “penonton sejarah”, melainkan aktor utama perubahan.
“Santri harus melek digital, paham geopolitik, dan mampu berdialog dengan dunia. Tapi semua itu harus berakar pada nilai pesantren: adab, keikhlasan, tawadhu, dan cinta tanah air,” katanya.
Kang Maman juga menekankan bahwa jihad kebangsaan di era modern bukan lagi perang fisik, melainkan perjuangan melawan korupsi, hoaks, intoleransi, dan kemiskinan moral.
“Menjaga NKRI bukan sekadar mempertahankan wilayah, tetapi memastikan nilai keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan tegak di dalamnya,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa budaya global yang serba cepat dapat meniadakan kedalaman makna hidup. Karena itu, santri ditantang untuk menjaga kesabaran dalam kecepatan, kesantunan dalam kebebasan, dan spiritualitas dalam digitalitas.
“Jika santri mampu menguasai teknologi tanpa kehilangan ruh, ia justru akan menjadi pionir Islam yang kontekstual dan progresif,” katanya.
Di akhir pesannya, KH Maman menegaskan bahwa modernisasi bukan ancaman, melainkan peluang amal baru.
“Yang penting bukan menolak perubahan, tetapi mengislamkan perubahan — menjadikan teknologi tunduk pada nilai adab, bukan sebaliknya,” tutupnya.