PHE menargetkan dapat mereaktivasi 798 sumur yang menganggur (idle wells) sepanjang 2025 untuk meningkatkan produksi minyak.
PHE Percepat Reaktivasi Sumur Tidak Aktif untuk Dongkrak Produksi Minyak. (Foto: Dok. PHE)
IDXChannel - PT Pertamina Hulu Energi (PHE), Subholding Upstream Pertamina, menargetkan dapat mereaktivasi 798 sumur yang menganggur (idle wells) sepanjang 2025. Reaktivasi idle wells merupakan salah satu upaya PHE untuk meningkatkan produksi minyak yang pada 2024 mencapai 400 ribu barrel oil per day (bopd).
Vice President Operational & Project PHE Benny Sidik mengatakan, salah satu pilar untuk menjaga produksi adalah dengan memanfaatkan aset yang ada, di antaranya dengan program reaktivasi idle wells. Agar sumur yang direaktivasi lebih banyak, PHE akan menggandeng mitra.
“Ada 100 mitra yang ikut sosialisasi. Harapannya, kami bisa mendapat mitra yang solid, baik secara teknologi, kompetensi, dan keuangan,” ujar Benny saat menjadi pembicara di webinar bertajuk “Migas Sebagai Pilar Swasembada Energi: Tantangan dan Solusi Peningkatan Lifting” di Jakarta, Selasa (4/2).
Reaktivasi idle wells telah dilakukan PHE sejak 2021. Saat itu sumur yang direaktivasi mencapai 585 sumur. Reaktivasi dilanjutkan dan pada tahun lalu tercatat sebanyak 962 idle wells yang direaktivasi.
Selain reaktivasi, upaya lain yang dilakukan PHE untuk meningkatkan produksi adalah dengan Enhanced Oil Recovery (EOR). Hingga saat ini PHE mengidentifikasi sebanyak 72 proyek EOR.
Benny mengatakan fokus utama PHE pada 2025, yakni dengan memulai Proyek Minas A dengan target start injection pada Desember 2025. Selain itu, implementasi steam flood di NDD stage 1-2 di Duri, program Minas D, dan pilot EOR Rama.
Untuk pengembangan proyek EOR, lanjut Benny, PHE mendapat dukungan dari Kementerian ESDM melalui Kelompok Kerja (Pokja) EOR. Bahkan, saat ini sudah ada surat perintah terkait percepatan implementasi EOR. “Kami sudah lakukan strategic partnership dengan Sinopec di Zulu, Tanjung dan Pamusian. Selain itu di Minas kita bekerja sama dengan PetroChina,” katanya.
Benny mengatakan, PHE berharap pemerintah bisa memberikan tambahan insentif untuk proyek EOR yang akan dijalankan. Pasalnya, proyek EOR perlu teknologi tinggi dan risikonya tinggi. “Harga minyak saat ini belum memberikan hasil keekonomian yang menarik,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris SKK Migas Luky Yusgiantoro mengatakan, SKK Migas tengah melakukan diskusi dengan Kementerian ESDM terkait dukungan insentif fiskal EOR. Apalagi saat ini banyak proyek EOR yang tengah dikembangkan. SKK Migas mendukung insentif fiskal untuk proyek EOR.
“Komersialnya tidak hanya pilot project, tapi berapa banyak kebutuhan surfaktan dan sebagainya. Ini yang sedang dikaji, dipantau tidak hanya Kementerian ESDM, tapi pokja-pokja,” katanya.
Perbaikan Fiskal
Saat ini, PHE mengelola wilayah kerja migas yang sebagian besar berusia di atas 30 tahun atau biasa disebut mature. Untuk memproduksikan potensi minyak yang ada dibutuhkan investasi yang sangat besar untuk meningkatkan fasilitas yang sudah uzur.
“Perlu investasi yang sangat besar untuk upgrade aging facilities, kelistrikan dan kepatuhan peraturan terkait air terproduksi untuk mengurangi LPO (Loss of Production Opportunity) sehingga dapat mengembalikan produksi menjadi lebih optimal,” kata Benny.
Kondisi WK yang secara ekonomis tidak ekonomis membuat PHE sedang mengusulkan ke pemerintah untuk perbaikan fiskal agar dapat memaksimalkan potensi WK tersebut.
“Dukungan pemerintah dibutuhkan untuk mendapatkan skema bagi hasil yang lebih baik guna mempertahankan produksi dan membuka sumber daya untuk memperkuat ketahanan energi nasional,” kata dia.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, produksi migas nasional bergantung pada lapangan yang sudah mature. Sebanyak 52 persen dari 75 WK produksi yang aktif masuk di mature field. “Lima tahun terakhir 40-45 persen produksi minyak nasional diproduksi oleh lapangan yang sudah berproduksi selama 50 tahun,” kata dia.
Komaidi menjelaskan, mengaktifkan kembali lapangan migas yang mature membutuhkan biaya cukup besar sehingga aspek keekonomian menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan. Hal ini berkaitan dengan model bisnis dan skema kerja sama dengan mitra, yang sering kali memiliki sudut pandang berbeda.
“Apakah investasi ini cukup layak untuk mendapatkan margin? Tidak ada bisnis yang dibiarkan merugi, termasuk yang dijalankan oleh BUMN atau Pertamina. Itulah tantangan utama yang dihadapi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini,” tegasnya.
(Yanto Kusdiantono)