Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Ariawan Gunadi. (Foto: Okezone.com/Prof Ariawan)
JAKARTA - Meskipun Presiden Prabowo telah menunjukkan komitmen politik yang kuat dalam mereformasi sektor pengelolaan aset negara melalui pembentukan Danantara, kebijakan ini tetap memicu perdebatan di tengah masyarakat. Sebagai entitas yang dirancang untuk mengelola aset strategis negara dalam bentuk investasi, kehadiran Danantara menimbulkan berbagai tanggapan, baik yang mendukung maupun yang mengkritisi implementasi serta pengawasannya.
Di media sosial, terutama di platform X, muncul berbagai seruan dari sejumlah nasabah yang mendorong penarikan dana dari bank-bank milik negara. Ajakan ini berakar pada kekhawatiran mengenai mekanisme pengelolaan dana yang berada di bawah naungan Danantara. Masyarakat mempertanyakan sejauh mana transparansi dan akuntabilitas lembaga ini dapat terjamin, mengingat struktur pengawasannya dinilai belum sepenuhnya berada di bawah kendali lembaga yang memiliki otoritas tinggi dalam pemeriksaan keuangan negara, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Situasi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan aset negara yang bernilai besar.
Selain itu, perdebatan juga mengemuka terkait dengan potensi dualisme kewenangan antara Danantara dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hingga saat ini, belum terjadi pengalihan saham BUMN kepada Danantara, sehingga Kementerian BUMN masih menjalankan perannya sebagai kuasa pemegang saham. Ketidakjelasan dalam pembagian otoritas ini berisiko menambah kompleksitas birokrasi yang justru dapat memperlambat kinerja perusahaan-perusahaan negara. Jika tidak segera diselesaikan, tumpang-tindih kewenangan ini dapat berdampak pada efektivitas operasional BUMN serta menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengambilan keputusan strategis.
Polemik lainnya muncul dalam kaitannya dengan penerapan prinsip Business Judgment Rule (BJR) sebagaimana diatur dalam UU BUMN yang baru. Prinsip ini pada dasarnya memberikan perlindungan hukum bagi direksi dalam mengambil keputusan bisnis, selama keputusan tersebut dibuat dengan itikad baik, bebas dari konflik kepentingan, dan selaras dengan prinsip good corporate governance (GCG).
Namun, dalam hal ditemukan unsur penipuan (fraud), konflik kepentingan yang merugikan, atau kelalaian berat (gross negligence), para direksi tetap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Oleh karena itu, meskipun BJR dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi manajemen dalam menjalankan keputusan bisnis tanpa rasa takut yang berlebihan, prinsip ini tetap memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar guna menjaga kepercayaan publik terhadap pengelolaan aset negara.
Belajar dari Pengalaman Peristiwa BLBI 1998
Pembentukan Danantara sebagai superholding BUMN merupakan langkah strategis dalam upaya meningkatkan efisiensi dan daya saing aset-aset negara melalui sistem pengelolaan yang lebih terintegrasi. Namun, keberadaan Danantara juga menimbulkan berbagai perdebatan, terutama terkait dengan mekanisme pengawasannya yang hingga kini masih memerlukan kejelasan.
Tanpa regulasi yang kuat dan sistem tata kelola yang transparan, ada kekhawatiran bahwa badan ini tidak akan sepenuhnya beroperasi sesuai dengan prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan kepentingan publik. Jika aspek pengawasan ini tidak segera diperkuat, maka kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan aset negara dapat mengalami degradasi, yang pada akhirnya dapat menghambat agenda reformasi yang telah dirancang oleh pemerintah.
Lebih lanjut, keterbatasan dalam pengawasan oleh lembaga-lembaga negara independen seperti KPK dan BPK dapat menciptakan celah bagi praktik korupsi serta manipulasi aset negara. Tanpa pengawasan yang ketat, potensi penyalahgunaan dana negara semakin besar, terutama jika berkaca pada pengalaman buruk dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1998 yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Oleh karena itu, diperlukan sistem pengawasan yang komprehensif dan mekanisme check and balance yang jelas guna memastikan bahwa pengelolaan Danantara benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip GCG dan tidak menjadi ruang bagi kepentingan kelompok tertentu yang dapat merugikan negara dan masyarakat.