Mushaf Alquran Braille Indonesia, Ikhtiar Menjaga Wahyu dengan Ujung Jari

2 hours ago 1

Oleh : Fathurrochman Karyadi, Naracara dalam KISWAH di Soul Pesantren dan Alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bayangkan menghafal empat belas juz hanya dari suara, sebab tak ada mushaf untuk diraba, tak ada guru yang paham “bahasa titik” untuk menuntun. Di banyak rumah tunanetra di negeri ini, akses pada Alquran terhalang harga mushaf Braille yang mahal, ketebalan jilid, dan kelangkaan pengajar yang menguasai tajwid sekaligus Braille. Persoalan yang bisa dijadikan renungan, apakah wahyu hanya milik yang bisa melihat?

KISWAH pada episode ke-64 menghadirkan Hj. Ida Zulfiya, pentashih Mushaf Alquran di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama. Ia lahir di Gresik, tumbuh di rumah yang ramai oleh anak-anak kecil belajar mengaji.

Dari bangku MI, ia melangkah ke Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, meniti hafalan hingga khatam di Jakarta. Rasa cintanya pada Alquran tak berhenti di pesantren; ia menyeberang ke kampus, menekuni tafsir-hadis di Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, lalu menempuh jalan yang jarang dilalui yakni menjadi pentashih mushaf, sebuah profesi yang menuntut hafal tiga puluh juz sekaligus ketelitian setara juru ukir.

Pada 2010, LPMQ mengajak Ida terlibat dalam penyusunan Mushaf Alquran Braille beserta pedoman membacanya, sebuah kerja yang sejak awal menempatkan tunanetra sebagai mitra sejajar, bukan sekadar objek penerima manfaat. Ida belajar langsung dari sahabat-sahabat netra di Ciputat dan Bandung; ia mencoba terjun ke “budaya perabaan”, memahami bahwa membaca dalam dunia mereka berarti menyusun makna dari titik-titik timbul, sabar sentimeter demi sentimeter.

Perjalanan Mushaf Braille

Sejarah Mushaf Braille di Indonesia ternyata cukup panajang. Sejak 1951, UNESCO memfasilitasi konferensi internasional untuk menstandarkan kode-kode Braille Arab. Setahun kemudian, Yordania menerbitkan Mushaf Braille pertama dan eksemplarnya sampai ke Bandung.

Di Yogyakarta, seorang tunanetra bernama Supardi Abdul Somad, santri Krapyak, berhasil membaca mushaf kiriman itu tanpa guru. Ia mengumpulkan kawan-kawan, mendirikan Yaketunis, dan pada 1964 mulai menerbitkan Mushaf Braille beracuan rasm imlā’ī.

Sepuluh tahun berselang, Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG) Bandung menyusun Mushaf Braille yang justru beracuan pada Mushaf Standar Utsmani sebagaimana mushaf “awas” yang umum kita pakai. Dua langkah ini, menimbulkan kebingungan yaitu huruf sama, kaidah berbeda.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |